Menurut Riyanta, hal itu mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
Pada Pasal 1 Ayat (2) UU No.5 Tahun 2018 disebutkan bahwa definisi terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas public, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.
“Melihat definisi tersebut tentu saja KKB di Papua yang sering kali melakukan aksi dapat disebut teroris," sebut Riyanta dihubungi, Minggu (11/4/2021).
Riyanta menuturkan pemerintah mesti melakukan pendekatan intens kepada masyarakat Papua.
Pendekatan ini, sambung Riyanta, sebagai upaya agar masyarakat tidak mudah terhasut oleh kelompok KKB.
“Pelabelan ini nantinya juga harus diimbangi dengan pendekatan yang intens kepada masyarakat supaya masyarakat merasakan kehadiran negara dan percaya kepada pemerintah, dan tidak mudah dihasut oleh kelompok KKB,” paparnya.
Riyanta juga mengatakan bahwa pelabelan KKB Papua sebagai kelompok teroris, tidak boleh membuat masyarakat Papua mendapatkan stigma yang sama.
Maka pemerintah harus mendampingi dan melindungi warga Papua dan melihatnya sebagai korban yang mesti dilindungi.
“Masyarakat adalah korban dan harus didampingi dan dilindungi, bukan bagian dari KKB dan tidak boleh ada stigma umum bahwa masyarakat Papua bagian dari KKB,” imbuhnya.
Menurut Riyanta, pola yang dilakukan KKB Papua adalah dengan memanfaatkan situasi dan bersembunyi di antara masyarakat.
Kelompok tersebut mengatasnamakan masyarakat, namun di sisi yang lain melakukan teror pada masyarakat yang dianggap mendukung pemerintah.
“Negara harus terus melakukan pendekatan kepada masyarakat sehingga tidak ada ruang bagi KKB untuk menyusup dan mempengaruhi masyarakat. Tentu saja peran intelijaen menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa upaya infiltrasiKKB kepada masyarakat dapat dicegah,” lanjutnya.
Lebih lanjut Riyanta mengatakan upaya untuk mencegah munculnya paham radikal masyarakat yang mendukung KKB Papua dapat dilakukan dengan peran aktif negara yang hadir di berbagai masalah yang ada di Papua.
“Kehadiran negara dalam konteks membangun Papua dan melibatkan masyarakat papua untuk ikut serta aktif dalam pembangunan," kata dia.
"Jika hanya elite Papua saja yang terlibat dan masyarakat tidak merasakan kehadiran negara maka masyarakat dalam kondisi rawan karena bisa disusupi oleh KKB dan bisa menjadi korban jika terjadi aksi antara aparat keamanan dengan KKB,” pungkasnya.
Sebagai informasi, KKB Papua menembak dua orang guru dan menculik seorang kepala sekolah, serta membakar sejumlah sekolah di kawasan Beoga, Kabupaten Puncak, Papua pada Kamis (8/4/2021) dan Jumat (9/4/2021).
Pihak kepolisian mengatakan aksi teror ini dilakukan oleh KKB Papua kelompok Nau Waker.
Saat ini aparat gabungan TNI-Polri masih melakukan pengejaran pada kelompok tersebut.
Gagasan pelabelan teroris kepada KKB di Papua dikemukakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar dalam rapat Komisi III DPR, Jakarta, Senin (22/3/2021).
Boy mengatakan, wacana ini tengah dibahas BNPT bersama sejumlah kementerian dan lembaga terkait.
Menurut Boy, kejahatan yang dilakukan oleh KKB layak disejajarkan dengan aksi teror.
Sebab, perbuatan KKB menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, senjata api, serta menimbulkan efek ketakutan yang luas di tengah masyarakat. [Democrazy/kmp]