Demikian dikatakan Guru Besar ITS Pakar Teknik Perkapalan Prof Daniel Mohammad Rosyid dalam artikel “KRI Nanggala: Tumbal Laut Selatan?”
Kata Daniel, mestinya overhaul total ini dilakukan setiap 5 tahun.
Tampaknya karena beberapa sebab, ini tidak atau belum dilakukan. Hanya dilakukan partial overhaul.
KRI Nanggala beroperasi melalui sebuah perairan yang rawan di sekitar selat Lombok.
Ada arus laut yang sangat kuat dari Samudra Pasifik Utara ke Laut Selatan yang melewati Selat Makasar lalu Selat Lombok.
Di selat Lombok dengan kedalaman 300m dan lebar 35km debitnya mencapai 3 juta meter kubik perdetik.
Menurut pria peraih Ph.D di Dept. of Marine Technology, the University of Newcastle upon Tyne ini kontur irregular dasar laut di sekitar selat ini ternyata menghasilkan pola aliran arus ekstrim (gelombang di dalam laut) yang berbahaya bagi kapal selam. Nanggala dirancang hanya untuk kedalaman 250 m dan kecepatan 25 knots.
“Mungkin Nanggala telah dipaksa arus ekstrim ini menyelam lebih dalam dari itu sehingga terjadi kebocoran yg gagal diatasi dengan segera naik ke permukaan dengan memompa keluar air laut dari tanki-tanki balastnya."
Sistem penggeraknya yang bukan nuklir, tapi diesel elektrik yang sudah cukup tua mungkin tidak memadai untuk menghadapi arus ekstrim ini sementara persediaan oksigen dalam kapal selam terus menipis. Pasokan oksigen diperlukan baik untuk awak kapalnya maupun mesin dieselnya.
Selain itu, ia menuntut pertanggungjawaban pemerintah sebagai operator Republik ini.
Sudah lama diingatkan bahwa negeri kepulauan di lokasi Nusantara yang sangat strategis ini mensyaratkan kemampuan maritim kelas dunia untuk berjaya.
Namun peringatan ini tidak cukup diindahkan oleh pemerintah.
“Obsesi pertumbuhan tinggi secara langsung telah menelantarkan pemerataan yang mensyaratkan sektor kemaritiman yang memadai baik untuk agenda kesejahteraan maupun keamanan dan pertahanan bagi negeri seluas Eropa ini. Banyak maladministrasi publik yang menyuburkan praktek korupsi telah mendorong banyak misalokasi anggaran yang serius sehingga sektor prioritas seperti kemaritiman sebagai instrumen pemerataan menjadi terbengkalai,” jelasnya. [Democrazy/suaranas]