Hal itu disampaikan Guru Besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof Hibnu Nugroho.
"SP3 itu untuk menjamin kepastian bagi tersangka. Dan SP3 ini kategori demi kepentingan hukum. Artinya ketika ada bukti baru lagi, wajib dibuka (jadi tersangka-red)," kata Hibnu saat berbincang, Rabu (7/4/2021).
Hibnu mengatakan, penetapan tersangka lagi tidak menyalahi asas pidana 'nebis in idem'.
Asas ini berlaku bagi orang yang telah dipidana, tidak bisa diadili lagi untuk kasus yang sama.
"Ya tidak nebis idem," ujar pakar hukum pidana itu.
Hibnu yang juga menjadi ahli di KPK untuk kasus Sjamsul Nursalim itu menyatakan, penghentian penyidikan atas tersangka Sjamsul Nursalim karena Mahkamah Agung (MA) melepaskan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).
MA menyatakan perbuatan SAT dalam kasus di atas adalah perbuatan perdata, bukan pidana.
Alhasil, Sjamsul yang hingga kini masih buron juga lolos.
"SP3 ini demi kepastian hukum," ucap Hibnu.
Sebagaimana diketahui, kasus bermula saat krisis moneter melanda Indonesia pada 1998 lalu.
Banyak bank ambruk, salah satunya Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang dimiliki Sjamsul.
Di sisi lain, Bank ini mengucurkan kredit ke petani tambak udang. Utang pun macet.
Untuk menyelamatkan moneter Indonesia, maka BPPN mengucurkan dana penyelamatan.
Belakangan, muncul Surat Keterangan Lunas (SKL) yang dikeluarkan BPPN sehingga Sjamsul Nursalim dinilai tidak lagi perlu mengembalikan uang itu ke negara. Dari sini lah sengketa dimulai.
SAT dimintai pertanggungjawaban di muka hukum, begitu juga dengan Sjamsul.
SAT akhirnya divonis lepas oleh MA dengan alasan perbuatannya adalah perbuatan perdata. Atas hal itu, kasus Sjamsul akhirnya ditutup oleh KPK. [Democrazy/dtk]