Ansyaad menilai pemerintah hingga saat ini belum bisa mendefinisikan radikal secara tegas.
Menurutnya, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021, juga tak menjawab arti radikalisme secara utuh.
Oleh karena itu, ia menilai wajar bila program deradikalisasi tak efektif.
"Kita semua teriak deradikalisasi. Radikalisme itu apa? Kan enggak jelas," kata Ansyaad dalam diskusi daring, Rabu (7/4).
Ansyaad meminta pemerintah memperjelas definisi radikal.
Menurutnya, kata radikal harus dibuat baku dan memiliki referensi yang jelas agar program deradikalisasi berjalan efektif.
Pemerintah, kata Ansyaad, misalnya bisa merujuk definisi radikalisme atau ekstremisme pada deklarasi hasil konferensi Internasional yang digelar di Al Azhar Kairo, Mesir pada 4 Februari 2020 lalu.
Konferensi diketahui menyepakati 29 butir pembaruan dalam pemikiran Islam.
Menurutnya, definisi radikal hasil konferensi tersebut cukup kredibel jika menjadi rujukan untuk mendefinisikan kata radikal.
Misalnya, hasil konferensi menyebut ekstremisme adalah ideologi yang dibangun di atas manipulasi dan distorsi agama.
Konferensi tersebut, lanjutnya, juga memberikan tanda-tanda seseorang telah terpapar ideologi radikal.
Mereka misalnya, mendukung pendirian khilafah dan menolak sistem kenegaraan modern.
Dengan menolak keberadaan negara, mereka juga menolak hukum yang dibuat oleh manusia.
Kelompok radikal hanya mempercayai hukum yang dari Tuhan lewat kitab suci.
"Contoh lihat saja, di pengadilan itu tidak pernah teroris mau bicara. Karena dia tidak mau diadili dengan hukum buatan manusia," katanya.
Ansyaad menyebut definisi baku tentang ciri-ciri seseorang terpapar kelompok radikal juga harus mulai dipikirkan kelompok intelektual untuk membantu pemerintah.
Ia mengibaratkan akar gerakan teroris sebagai api kecil yang jika tidak cepat dipadamkan akan membesar.
"Selama kompor-kompor ini tidak bisa kita padamkan, selama itu pula kita akan kebakaran," ujarnya. [Democrazy/cnn]