Menurut Peneliti ICW Lalola Easter, fenomena itu muncul karena masih minimnya penggunaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dalam tuntutan maupun pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Lola menyebut, penggunaan UU TPPU pada para terpidana dan terdakwa korupsi bisa menyelamatkan sejumlah besar kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.
Namun, berdasarkan data ICW sepanjang tahun 2020, dari total 1.298 terdakwa tipikor, hanya 20 terdakwa yang didakwa menggunakan UU TPPU tersebut.
“Sepanjang tahun 2020, dari 1.298 terdakwa yang sudah disidangkan atas kasus korupsi, yang didakwa dengna menggunakan TPPU hanya 20 terdakwa oleh dua lembaga hukum ini,” ucap Lola dalam diskusi virtual ICW, Jumat (9/4/2021).
Lola juga menyampaikan bahwa temuan data ICW sepanjang tahun 2020 menunjukan bahwa kerugian negara akibat tindak pidana korupsi sebesar Rp 56,7 triliun dan kerugian atas kasus suap sebesar Rp 322 miliar.
Namun, di sisi lain, pidana pengganti yang dijatuhkan pada para terpidana korupsi hanya sebear Rp 19,6 triliun, dengan total nilai denda sebesar Rp 156 miliar.
“Dengan temuan ini bagaimana bisa kita bicara soal penjeraan bagi terdakwa dan terpidana kasus tipikor bisa tercapai. Ini tidak seimbang, kita mau bicara penjeraan pada pelaku tipikor dimana? Celahnya semakin sempit,” ujar Lola.
Sementara itu, hukuman pengganti dan denda tidak seimbang dengan kerugian negara.
Lola juga menemukan bahwa hukuman badan atau kurungan penjara rata-rata para koruptor juga dinilai tidak sebanding dengan kerugian materiil yang ditimbulkan pada negara.
“Anggaplah dari sisi upaya pemulihan kerugian negara belum maksimal, mungkin kita cari perbandingan lain yaitu piada banda, tetapi kita juga menemukan, rata-rata pidana badan untuk 1.298 terdakwa itu hanya 3 tahun 1 bulan,” ucap Lola. [Democrazy/kmp]