Jokowi dinilai tidak belajar pengalaman sebelumnya bahwa menggabungkan kedua Kementerian itu tidak efektif. Tugas dan fungsinya tidak berjalan maksimal.
"Kita pernah berpengalaman dengan penggabungan fungsi Pendidikan tinggi dengan Riset dan Teknologi dalam bentuk Kemenristek-Dikti. Ternyata dalam pelaksanaannya tidak berjalan efektif, sehingga fungsi ristek dikembalikan lagi ke Kementerian Ristek dan fungsi Pendidikan Tinggi dikembalikan ke Kementerian Dikbud," ujar Mulyanto kepada wartawan, Jumat (9/4).
"Dan sekarang Pemerintah melakukan hal yang sama untuk sesuatu yang sudah dikoreksi. Dengan membentuk Kemendikbud-Ristek. Tentu keputusan ini sangat membingungkan," sebutnya.
Keputusan Jokowi itu dinilai tidak akan efektif. Peleburan kementerian membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk koordinasi dan adaptasi.
"Proses adaptasinya saja perlu waktu sekitar 2-3 tahunan. Sementara Pemerintahan Jokowi periode kedua efektif tinggal 2 tahun lagi. Maka praktis kementerian baru ini tidak akan efektif bekerja di sisa usia pemerintahan sekarang ini," kata politikus PKS ini.
Dengan digabungkannya kemendikbud-ristek, kata Mulyanto, maka perumusan kebijakan dan koordinasi ristek akan semakin tenggelam oleh persoalan pendidikan dan kebudayaan yang sudah segunung.
Belum lagi terkait kerumitan koordinasi kelembagaan antara Kemendikbud-Ristek dengan BRIN dan LPNK ristek lainnya.
Kebijakan ristek yang semestinya semakin mengarah ke 'hilir' dalam rangka hilirisasi dan komersialisasi hasil ristek dalam industrial dan sistem ekonomi nasional, dengan penggabungan Kemendikbud-Ristek bisa jadi akan kembali berorientasi ke 'hulu' di mana ristek menjadi unsur penguat empirik dalam pembangunan manusia.
"Beda halnya kalau Kemenristek ini digabung dengan Kemenperin. Ini dapat menguatkan orientasi kebijakan inovasi yang semakin ke hilir dalam rangka industrialisasi 4.0," jelas Mulyanto. [Democrazy/mrd]