HUKUM

Pengamat Sebut Penangkapan Warga yang Komentari Gibran Dinilai "Blunder Besar" Polri

DEMOCRAZY.ID
Maret 16, 2021
0 Komentar
Beranda
HUKUM
Pengamat Sebut Penangkapan Warga yang Komentari Gibran Dinilai "Blunder Besar" Polri

Pengamat-Sebut-Penangkapan-Warga-yang-Komentari-Gibran-Dinilai-Blunder-Besar-Polri

DEMOCRAZY.ID - Direktur Indonesia Choice for Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai penangkapan seorang warga akibat komentarnya di sosial media soal Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka adalah blunder besar. 

Erasmus menyebut tidak seharusnya pihak kepolisian melakukan penangkapan pada pemuda berinisial AM tersebut. 


Menurut Erasmus hal ini menunjukkan bahwa selain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) harus direvisi. 


Lalu, pemahaman aparat tentang individu dan jabatan juga mesti mengacu pada aturan.


"Menunjukkan bahwa memang masalah utama, selain UU ITE harus direvisi adalah pemahaman aparat soal individu dan jabatan. Ini problem karena pasal yang diduga enggak nyambung," jelas Erasmus, Selasa (16/3/2021). 


Menurut Erasmus, jika dianggap sebagai penghinaan, seharusnya masuk dalam delik aduan. 


"Pertama, penghinaan harus delik aduan, apakah Gibran Mengadu? Kedua, masuk Pasal 28 Ayat 2 (UU ITE), dimana ujaran kebenciannya? Enggak ada kan? Ujaran itu kan disampaikan pada Gibran sebagai individu, bukan golongan masyarakat tertentu," paparnya. 


Jika hal seperti ini terus dilakukan, Erasmus menyebut, penegakan hukum kita kembali seperti di zaman kolonial.


Dimana seorang pejabat publik seolah tidak boleh disinggung dan punya kekuasaan mutlak. 


"Kalau begini sama saja kembali ke jaman kolonial. Jaman pejabat enggak boleh disinggung, dianggap punya kekuasaan mutlak, Mahkamah Agung sudah ingatkan itu saat menghapus delik penghinaan presiden," tuturnya. 


Erasmus melanjutkan, pola seperti ini seharusnya sudah tidak ada di negara demokrasi.


Selain itu hal ini, menurut dia, menunjukkan bahwa keberadaan polisi siber fungsinya untuk mengawasi perilaku warga negara dan dianggap berbahaya untuk demokrasi. 


"Ini juga menunjukan polisi siber itu fungsinya jadi mengawasi perilaku warga negara, apa gunanya? Jadi berbahaya untuk demokrasi," katanya. 


Ia meminta sebaiknya polisi fokus pada kasus-kasus penipuan online dan kejahatan-kejahatan yang berhubungan dengan dunia siber.


"Kasus-kasus seperti ini memperburuk citra demokrasi Indonesia," pungkas dia. 


Diberitakan sebelumnya tim virtual police Polresta Solo menangkap seorang pemuda berinidial AM karena mengunggah komentar bermuatan ujaran kebencian terharap Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka di sosial media Instagram. 


AM mengomentari unggahan di akun @garudarevolution terkait keinginan Gibran menyelenggarakan semifinal dan final Piala Menpora di Stadion Manahan Solo. 


"Tahu apa dia tentang sepak bola, taunya cuma dikasih jabatan saja," komentar AM di akun itu.


Kapolresta Solo Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak menerangkan AM ditangkap karena tidak menghapus komentarnya, padahal sudah diperingatkan melalui direct message (DM) oleh virtual police. 


"Yang bersangkutan sudah minta maaf tidak akan mengulangi perbuatannya," terang Ade, Senin (15/3/2021). 


"Seperti kita ketahui Kepala Daerah (Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surakarta) dipilih secara langsung oleh warga masyarakat Surakarta yang mempunyai hak pilih melalui mekanisme, tahapan dan proses Pilkada," sambungnya. [Democrazy/kmp]

Penulis blog