Menurut Sumarsih, pertanyaan itu muncul karena tidak konsistennya sikap lembaga pemerintahan yang seharusnya menjadi aktor kunci penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
Sikap tidak konsisten itu salah satunya ditunjukan oleh Presiden Joko Widodo dan Jaksa Agung ST Burhanuddin.
“Saat jaksa Agung mengajukan banding pada putusan PTUN Jakarta, Presiden tidak melakukan apa-apa. Tidak menegur, tidak mengingatkan baik melalui Menko Polhukam, baik langsung secara lansung pada Jaksa Agung,” jelas Sumarsih dalam diskusi virtual yang diadakan LP3ES bertajuk Peradilan dan Impunitas, Selasa (16/3/2021).
Adapun kasus yang melibatkan Jaksa Agung ST Burhanuddin dengan keluarga Korban Semanggi I dan II terjadi karena pernyataan Burhanuddin yang mengatakan bahwa kasus Semanggi I dan II bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
Pada 4 November 2020, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan keluarga korban kasus Semanggi I dan II dan menyatakan pernyataan Burhanuddin melawan hukum.
Terakhir, Burhanuddin melakukan banding atas putusan tersebut.
Dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) mengabulkan banding tersebut, serta membatalkan putusan PTUN Jakarta.
Sumarsih menilai berdasarkan kasus tersebut, ia tak yakin bahwa negara akan serius melakukan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Tanah Air.
Pasalnya, Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa Kejaksaan Agung adalah aktor kunci penyelesaian kasus HAM Berat, namun Jaksa Agung, justru berhadapan dengan keluarga korban di pengadilan.
“Kemudian bagaimana pemerintah akan menyelesaikan pelanggaran ham berat masa lalu kalau aktor kunci penyelesaian pelanggaran HAM berat, justru melawan orangtua korban di meja pengadilan,” sebut Sumarsih.
Sumarsih bercerita, bahwa Presiden Jokowi sempat menghidupkan harapan penyelesaian kasus HAM berat di masa lalu untuk para keluarga korban, bahkan sebelum menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Jokowi, lanjut Sumarsih selalu menyinggung penyelesaian pelanggaran HAM berat dalam banyak pernyataannya.
Sebelum menjabat sebagai presiden, dalam program Nawa Cita yang disampaikannya, Jokowi berjanji bahwa penyelesaian kasus HAM berat.
“Presiden Jokowi sejak sebelum menjadi Presiden itu sangat memberikan harapan bagi kami keluarga korban yang tertulis dalam Nawa Cita. Setelah jadi Presiden dalam pidato kenegaraan baik dalam perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, hari HAM Sedunia, itu juga selalu memberikan harapan-harapan kepada kami, keluarga korban,” ceritanya. [Democrazy/kmp]