Ia menyatakan partainya tetap meminta agar penyelenggaraan pilkada dinormalisasi dari yang dijadwalkan pada 2024 menjadi terselenggara di 2022 serta 2023 lewat revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
"Apakah mungkin ada kekhawatiran dari Presiden dan Partai-Partai Pemerintah jika pilkada DKI sesuai waktu pemilihan?," kata Irwan, Selasa (9/2).
Secara aspek konstitusional, dia menilai, pilkada yang dijadwalkan terselenggara pada 2024 bukan pemilu yang dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945.
Menurutnya, amanat konstitusi mengharuskan penyelenggaraan pilkada terpisah dari pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres), sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Irwan pun berpendapat, penyelenggaraan pilkada serentak dengan pileg dan pilpres pada 2024 terlalu berat bila dilihat dari sisi teknis.
"Pelaksanaan pilkada paling betul sebenarnya adalah mengikuti siklus akhir masa jabatan. Apalagi legitimasi politik ketika daerah dipimpin oleh pelaksana tugas juga tentu dipertanyakan," kata anggota Komisi V DPR RI itu.
Irwan meminta pemerintah dan DPR melihat status kekhususan DKI Jakarta, Aceh, serta Papua dalam wacana tetap menyelenggarakan pilkada secara serentak di 2022.
Ia mengingatkan bahwa Jakarta, Aceh, dan Papua tetap harus menyelenggarakan pilkada sesuai waktu karena memiliki aturan tersendiri.
PKS Tetap Mau Pilkada Dinormalisasi
Senada, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyatakan tetap ingin pilkada dinormalisasi menjadi terselenggara pada 2022 dan 2023.
Menurutnya, ada tiga aspek yang menjadi alasan kuat untuk menormalisasi pilkada ke 2022 dan 2023.
Pertama, aspek penyelenggaraan. Mardani berkata, pelaksanaan pilkada akan lebih ringan dan fokus karena beban penyelenggaraan tidak bersamaan dengan pileg dan pilpres 2024.
Menurutnya, normalisasi waktu penyelenggaraan pilkada akan membuat iklim demokrasi tetap terjaga.
"Penyelenggaraan Pilkada 2022 dan 2023 justru memperkuat praktik demokrasi dengan memberikan kesempatan munculnya kepemimpinan lokal yang lebih terdistribusi secara merata. Ini akan berdampak positif bagi regenerasi kepemimpinan daerah dan nasional berjalan secara sehat," katanya.
Mardani melanjutkan, memaksakan penyelenggaraan pemilu dan pilkada pada 2024 berpotensi menimbulkan korban jiwa yang lebih besar dibandingkan Pemilu Serentak 2019.
Kedua, aspek pemilih. Langkah menormalisasi pilkada akan membuat masyarakat mendaptkan informasi yang lebih baik terkait kapasitas dan kapabilitas calon kepala daerah.
Menurutnya, memaksakan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak di 2024 berpeluang membuat preferensi calon pemilih lebih banyak menjadi transaksional dan emosional.
"Politik uang bisa kian masif, kontestasi tidak lagi berdasarkan gagasan program. Fungsi representasi juga menurun karena pejabat yang terpilih jadi merasa tidak punya kontrak sosial dengan pemilih," katanya.
Terakhir, dari aspek anggaran. Mardani berkata, efisiensi anggaran justru tidak akan tercapai bila pilkada digelar serentak dengan pileg serta pilpres di 2024.
Ia pun mengingatkan bahwa menambahkan beban APBN untuk pelaksanaan pilkada, pileg, serta pilpres di 2024 berpotensi mengganggu pembangunan nasional dan daerah pada tahun tersebut.
Mayoritas fraksi di Senayan saat ini ingin agar pembahasan RUU Pemilu tak dilanjutkan.
Situasi ini terjadi setelah NasDem dan PKB 'balik badan'.
Setelah sempat menyatakan mendorong agar pembahasan RUU Pemilu dilakukan, PKB dan NasDem kini bergabung bersama PDIP, PAN, serta PPP menyatakan menolak atau tak mau melanjutkan pembahasan RUU Pemilu.
Draf RUU Pemilu saat ini masih dalam tahap penjajakan alias belum final. Namun, Baleg DPR dan pemerintah sudah menyepakati bahwa RUU Pemilu menjadi salah satu dari puluhan Prolegnas Prioritas 2021.
Draf terakhir yang disusun Komisi II DPR diketahui mengatur tentang rencana pilkada serentak selanjutnya, yakni pada 2022 dan 2023.
Hal ini tidak seperti ketentuan di regulasi sebelumnya, yakni pilkada serentak di seluruh provinsi, kabupaten dan kota digelar pada 2024 bersamaan dengan pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD dan presiden.
Merujuk Pasal 731 Ayat (2) dalam draf revisi UU Pemilu, Pilkada 2022 akan diikuti oleh 101 daerah yang menggelar Pilkada pada 2017. Provinsi DKI Jakarta termasuk di antaranya. [Democrazy/cnn]