Sri Mulyani mencatat, ada enam aspek potret kelemahan:
Pertama, kepatuhan penyampaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN) provinsi Papua sekitar 33% pemerintah daerah (pemda) di Papua dalam tiga tahun terakhir masih belum memenuhi kepatuhan penyampaian APBD.
Sementara Papua Barat lebih baik sedikit, dalam periode sama hanya sekitar 29% pemda yang belum mematuhi kepatuhan penyampaian APBN.
Kedua, administrasi keuangan belum optimal. Untuk Papua berstatus wajar tanpa pengecualian (WTP) pada tahun 2014-2018, namun jika ditelisik 51,7% kabupaten/kota mendapatkan opini diclaimer dan adverse pada 2018.
Sedangkan, Papua Barat pada 2018 sebanyak 38,5% kabubaten/kota berstatus wajar dengan pengecualian (WDP).
“Itu berarti ada yang disebut administrasi kepatuhan, standar akuntasi, dan pelaporan yang tidak terpenuhi atau adanya suatu kasus isu yang menyebabkan mereka (Papua dan Papua Barat) mendapatkan status adverse atau disclaimer,” kata Menket saat Rapat Kerja dengan Komiter I DPR RI, Selasa (26/1/2021).
Ketiga, sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) dana otsus rata-rata di di Papua dalam tujuh tahun terakhir sebesar Rp 528,6 miliar per tahun dan dana infrastruktur tersisa Rp 389,2 miliar.
Bahkan di tahun 2019 SILPA provinsi Papua mencapai Rp 1,7 triliun.
Untuk Papua Barat, rata-rata Silpa dalam tujuh tahun terakhir mencapai Rp 257,2 miliar dengan dana infrastruktur yang tersisa Rp 109,1 miliar.
Menkeu melaporkan, Silpa tahun anggaran 2019 Papua Barat mencapai Rp 370,7 miliar.
“Yang sebetulnya dana otsus dipakai untuk mengejar ketertinggalan, namun kita melihat ternyata pemakaianya tidak maksimal. Ini terjadi pada saat masyaratnya membutuhkan anggaran tersebut untuk mengejar ketertinggalan,” jelas Sri Mulyani.
Keempat, dari sisi tata kelola berdasarkan nilai monitoring center yang dilaporkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Papua Barat mendapatkan nilai 31% atau berada di posisi terendah pertama dari total provinsi di Indonesia dan Papua berada di posisi kedua dengan nilai 34%.
Adapun score tertinggi diperoleh DKI Jakarta yang mencapai 91%.
Kelima, kekosongan regulasi di Papua yakni 4 dari 13 peraturan daerah khusus (perdasus) dan 5 dari 18 peraturan daerah provinsi (perdasis) belum ditetapkan.
Sementara, Papua Barat 7 dari 13 perdasus dan 12 dari 18 perdasi juga belum selesai ditetapkan. “Jadi proses legistlasi tidka berjalan dengan optimal,” kata Menkeu.
Keenam, alokasi belanja pendidikan dan kesehatan masih rendah. Di Papua belanja pendidikan hanya 13,8% dan kesehatan 8,7%.
Kemudian, Papua Barat belanja pendidikan 14,33%, sedangkan belanja kesehatan 7,6%.
“Ini lebih masih rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional, dalam hal belanja pendidikan dan kesehatan. Padahal ketertinggalan juga berada di dua hal tersebut,” ucap Menkeu. [Democrazy/lwjs]