Peneliti Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat (Pustaka), R. Yando Zakaria mengatakan, pihaknya mencatat sekitar 150 desa adat yang tersebar dibeberapa provinsi belum bisa mendapatkan hak tanah dan hutan.
"Karena keseluruhan desa tersebut ditetapkan sebelum Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 1 tahun 2017 tentang Penataan Desa diberlakukan," ujar Yando dalam diskusi virtual LP3ES, Rabu (27/1).
"Karenanya, dianggap belum sesuai dengan peraturan yang dimaksud, sehingga belum diregistrasi oleh Kementerian Dalam Negeri," sambungnya.
Dia menyebutkan, 150 desa adat yang belum teregistrasi dan belum mendapatkan hak tanah serta hutan tersebar di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten; Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Siak, Provinsi Riau dan Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
Untuk mengubah nasib masyarakat yang ada di ratusan desa tersebut, Yando menyatakan, perlu adanya satu penggabungan regulasi yang menghapus sejumlah pasal di dalam beberapa Undang-undang (UU).
"Kita Perlu omnibus law (penggabungan regulasi) yang isinya mencabut pasal 67 ayat (2) UU 41/1999 tentang kehutanan, pasal 109 UU 6/2014 tentang desa," ungkapnya.
Selain itu, Yando juga melihat satu keharusan agar RPP sektor pertanahan menganulir kerangka hukum yang digunakan dalam Peraturan Presiden (Perpres) 71/2002 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
"Temasuk mengnulir Peraturan Menteri Tata Ruang/Kepala BPN 18/2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Keatuan Masyarakat Hukum Adat yang mengkuti logika sesat UU 41/1999 tentang Kehutanan," tegasnya.
Kemudian menurutnya, juga diperlukan percepatam penetapan UU tentang Pengakuan dan Pelindung Hak Masyarakat Adat, dengan merombak total draft RUU yang saat ini tengah dibahsa di DPR.
"Karena, realita huku di Indonesia saat ini bukannya mengakui hak masyarakat adat. Malah justru menyingkirkan pengakuan tersebut," demikian Yando Zakaria. [Democrazy/rmol]