Berdasarkan data dari Komnas HAM pada periode 2019 sampai dengan April 2020 tercatatat 15 kasus dugaan penyiksaan atau perlakuan merendahkan martabat dan tidak manusiawi yang terjadi di tengah proses interogasi oleh pihak kepolisian.
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin mengatakan bahwa Indonesia memiliki pengalaman menyedihkan terkait penyiksaan yang terjadi di masa lalu dan berlanjut hingga saat ini.
"Masih banyak laporan yang diterima Komnas HAM terkait penyiksaan di berbagai tempat," katanya dalam diskusi "Dukungan Pers terhadap Pencegahan Penyiksaan" yang diselenggarakan secara daring oleh Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) bersama Dewan Pers, Selasa (26/01/2021).
Dia menjelaskan, tindakan penyiksaan mencederai konstitusi negara.
Tepatnya, yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 G ayat 2 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”
Lebih jauh dia mengatakan, mekanisme internasional turut membahas pencegahan tindakan penyiksaan atau perlakuan merendahkan martabat dan tidak manusiawi.
Mekanisme tersebut telah diatur dalam Optional Protocol dari CAT (OPCAT).
OPCAT, yang sekaligus untuk melengkapi upaya pencegahan penyiksaan sesuai dengan United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT) dan menjadi alat praktis untuk membantu negara-negara dalam melaksanakan kewajiban internasional mereka berdasarkan UNCAT dan hukum kebiasaan internasional.
"Namun, hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi mekanisme tersebut," ujarnya.
Dalam mencegah upaya tindakan penyiksaan, Amiruddin mengajak semua pihak untuk melakukan pengawasan dan pemantauan ke tempat-tempat dimana orang-orang sedang dicabut kemerdekaannya oleh proses hukum.
Hal tersebut , kata dia, direalisasikan oleh Komnas HAM bersama dengan lembaga independen lainn, seperti Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Para lembaga independen ini, sambungnya, bekerja sama untuk mengambil inisiatif membentuk mekanisme nasional dalam rangka pencegahan penyiksaan.
Menurutnya, pihaknya juga menjalin dialog dengan pihak-pihak yang memiliki kewenangan di tempat-tempat terjadinya pencabutan kebebasan, seperti Ditjen Pemasyarakatan, Ditjen Imigrasi, dan Kementerian Sosial.
"Kami ingin bersama-sama mengingatkan semua pihak untuk memberikan perhatian kepada permasalahan ini sehingga praktik penyiksaan tidak terjadi. Langkah ini merupakan upaya bersama dalam mengatasi problema penyiksaan kontra dengan dasar negara, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab," tuturnya.
Dia mengatakan, Indonesia telah meratifikasi the UNCAT melalui UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.
Akan tetapi, perundangan tersebut belum menjadi rujukan atas terjadinya tindakan penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi maupun merendahkan martabat manusia.
Selain itu, kata Amir, Indonesia juga meratifikasi International Covenant On Civil And Political Rights melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Pada Pasal 6 UU ditegaskan bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat.
"Pengesahan kovenan tersebut sesuai dengan UUD 1945 yang mengamanatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional untuk memajukan dan melindungi HAM," ungkapnya. [Democrazy/okz]