Khususnya menyangkut peluang para kepala daerah yang selama ini digadang-gadang bisa maju pada Pilpres 2024, seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Saat ini, partai-partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat tengah bersilang pendapat ihwal perlu tidaknya mengembalikan jadwal pilkada pada 2022 dan 2023 melalui revisi Undang-undang Pemilu.
Adapun jika merujuk UU Nomor 10 Tahun 2016, pilkada berikutnya dijadwalkan pada 2024, serentak di tahun yang sama dengan pilpres dan pemilihan legislatif.
"Kalau 2022 atau 2023 kalau tidak ada pilkada, yang jadi korban politik, dalam tanda kutip, adalah kepala daerah yang selama ini selalu dikaitkan dengan pilpres, Anies, Ridwan Kamil, Ganjar. Mereka akan jadi korban dari sebuah regulasi yang tidak terlampau menguntungkan," kata Adi kepada Tempo, Rabu, 27 Januari 2021.
Adi mengatakan Anies, Ridwan Kamil, dan Ganjar akan sulit maju di Pilpres 2024 jika mereka tak lagi menjabat gubernur.
Masa jabatan Anies akan berakhir 2022, sedangkan masa jabatan Ganjar dan Ridwan Kamil selesai 2023.
Jika pilkada tetap digelar pada 2024, mereka akan kehilangan momentum dan pengaruh karena tak lagi memiliki panggung politik.
"Mereka harus mengubur mimpinya secara perlahan atau membangun kembali momentum politik untuk mengingatkan publik bahwa mereka ini layak diperhitungkan di 2024," kata dia.
Secara teknis, Adi melanjutkan, revisi UU Pemilu termasuk jadwal pilkada ini bergantung pada persetujuan Presiden Joko Widodo dan partai koalisi pendukungnya.
Sedangkan kecenderungan partai koalisi pemerintah saat ini terlihat tak setuju Pilkada 2022 dan 2023.
"Kalau Istana, Presiden dan parpol koalisi enggak setuju ya percuma saja bicara UU Pemilu ini, terutama pilkada apakah 2022 atau 2023," kata dosen komunikasi politik Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah ini.
Terlepas dari kepentingan politik Pilpres 2024, Adi mengatakan pilkada semestinya digelar pada 2022 dan 2023 demi demokrasi.
Ia mengatakan hal ini juga menjadi desakan kelompok masyarakat sipil dan pegiat pemilu.
Normalisasi pilkada pada 2022 dan 2023 dinilai perlu untuk menghindari besarnya beban penyelenggaraan pemilu serentak pada 2024.
"Untuk menghindari pilkada serentak nasional 2024 yang akan begitu padat. Tentu stamina penyelenggara akan terkuras, publik akan jenuh, sepanjang 2024 akan banyak pemilu dan pilkada," ucapnya.
Selain itu, Adi mengatakan Pilkada 2022 dan 2023 juga demi menghindari adanya pelaksana tugas kepala daerah.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia menganut demokrasi langsung setelah reformasi tahun 1998.
Alasan tak ada pilkada langsung pada 2022 dan 2023 demi pemilihan serentak 2024 menurutnya patut dipertanyakan.
Jika pilkada tetap digelar 2022 dan 2023, kata Adi, tak ada salahnya jadwal pilkada serentak diundur menjadi 2027.
"Secara demokrasi jangan sampai ada kepala daerah yang ditunjuk oleh pemerintah. Karena demokrasi kita langsung bukan seperti Orde Baru, kepala daerah menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat," ujar dia.
Namun, Adi memperkirakan, tanpa nama-nama kepala daerah yang menonjol itu, bursa capres 2024 akan diisi orang-orang baru.
Dia menduga nama-nama itu bisa jadi dari menteri atau ketua umum partai politik.
"Sebab mereka menempati jabatan sehingga memiliki panggung dan spotlight," katanya. [Democrazy/tmp]