Ia menegaskan tidak berniat rasis, seperti yang dituding Zealous karena menulis kalimat WNI non-pribumi dalam surat Menteri ATR Nomor HR.01/1874/XII/2020 tentang Monitoring Pelaksanaan Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
Kalimat WNI non-pribumi yang dimaksudkan itu mengutip aturan terdahulu, yaitu Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY Nomor K.898/1/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada WNI Non Pribumi.
"Karena surat itu menyebut istilah WNI non-pribumi, kami kutip saja istilah tersebut. Jadi, bukan urusan saya yang rasis begitu," imbuh dia, Rabu (27/1).
Sofyan juga menjelaskan alasannya tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman tentang Maladministrasi atas Belum Terlaksananya Pendaftaran Peralihan Hak Milik Atas Tanah oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, Kulon Progo, Yogyakarta, Gunung Kidul, dan Sleman.
Menurutnya, Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY Nomor K.898/1/A/1975 tetap berlaku lantaran Mahkamah Agung (MA) tidak mengabulkan uji materiil atas aturan tersebut pada 2015 lalu.
"Artinya, aturan itu tetap berlaku. Sampai ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung juga membenarkan, jadi tidak ada yang dilanggar aturan itu," terang dia.
Di sisi lain, ia menyatakan rekomendasi Ombudsman tidak memperhatikan aspek keputusan MA yang sudah inkrah.
Ia menuturkan putusan MA mempertimbangkan keistimewaan Yogyakarta.
Namun, Sofyan mengakui permintaan pemecatan yang dilayangkan oleh Zealous itu sebagai hak warga negara dalam menjalankan kebebasan berpendapat.
"Tidak ada yang dilanggar HAM. Itu bagian dari keistimewaan (Yogyakarta). Toh, mereka diberikan Hak Guna Bangunan (HGB)," jelasnya.
Rekomendasi Ombudsman itu bermula pada 2016 lalu. Zealous mengungkapkan beberapa warga DIY tidak bisa melakukan proses balik nama tanah hak milik di Kantor BPN wilayah DIY.
Pasalnya, petugas BPN DIY masih mengacu kepada Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY Nomor K.898/1/A/1975 terkait Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada WNI Non Pribumi.
Zealous menjelaskan instruksi itu dikeluarkan sejak 1975 silam oleh Wakil Kepala Daerah DIY Sri Paku Alam VIII.
Instruksi lama itu mengatur apabila WNI non pribumi membeli tanah masyarakat, maka hendaknya hak milik dilepas dan diberikan kepada negara. Sedangkan, yang bersangkutan mendapatkan Hak Guna Bangunan (HGB).
"Nah, orang-orang ini mengadu kepada Ombudsman Indonesia Wilayah Kerja DIY pada 2016. Kemudian, oleh Ombudsman diadakan pemeriksaan. Setelah diperiksa, Ombudsman mengeluarkan rekomendasi hasil pemeriksaan dari Ombudsman dalam bentuk rekomendasi, dari hasil pemeriksaan Ombudsman mereka telah melakukan maladministrasi diskriminasi," katanya.
Namun, Sofyan menolak rekomendasi Ombudsman, serta berpegang pada Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY Nomor K.898/1/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada WNI Non Pribumi.
Dalam surat Sofyan tentang Monitoring Pelaksanaan Rekomendasi Ombudsman, disebutkan bahwa uji materiil terhadap Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY Nomor K.898/1/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada WNI Non Pribumi, kepada Mahkamah Agung (MA) tidak diterima. Dengan kata lain, aturan lama itu masih berlaku. [Democrazy/cnn]