Sistem demokrasi menumbuhkan kesadaran terhadap hak-hak individual (Hak Asasi Manusia) sebagai warga negara memperoleh kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat dan kesempatan yang sama dalam ruang sosial atau publik.
Suatu negara tidak dapat menjadi negara demokrasi jika tidak memiliki konsep Reschtsstaat. Negara hukum yang demokratis akan selalu terkoneksi dan terintegrasi dari tiga subtansi dasar yang di kandungnya, konstitusi, demokrasi dan hukum itu sendiri.
Baru-baru ini persoalan penegakan HAM di tanah air menjadi sorotan, akibat peristiwa penembakkan yang dilakukukan oleh oknum aparat penegak hukum terhadap enam orang laskar FPI di KM 50 dan ini menambah daftar catatan potret HAM di Indonesia.
Apalagi berdasarkan hasil temuan investigasi yang dilakukan oleh Komnas HAM menyatakan peristiwa dibalik penembakkan tersebut merupakan pelanggaran HAM.
Peristiwa KM 50 merupakan dampak panjang dari politik pasca Pilpres 2019, sudah menjadi pemahaman umum bahwa FPI merupakan kelompok kepentingan yang mengusung hastag ganti Presiden pada pilpres kemarin.
Kegaduhan politik yang terjadi pada Pilpres 2019 banyak membuat gerah seluruh element bangsa karena hampir membelah persatuan dan kesatuan bangsa.
Kegaduhan politik di Indonesia sama halnya dengan yang terjadi di Amerika serikat pasca pemilihan Presiden, yang mana incumbent Donald Trump kalah dalam electoral vote dengan Joe Biden.
Apalagi awal tahun 2021 ini terjadi unjuk rasa dan penyerangan Gedung Capitol AS oleh pendukung Presiden Amerika Serikat Donal Trump yang menolak hasil pemilu karena dianggap penuh kecurangan. Dalam demonstrasi tersebut telah menyebabkan lima nyawa hilang termasuk seorang wanita yang ditembak oleh polisi di halaman Gedung capitol.
Yang menjadi pertanyaan adalah dalam suatu sistem demokrasi bagaimana peran oposisi dalam pemerintahan dan apakah kelompok kepentingan bagian dari opoisisi atau hanya alat politik dalam infastruktur politik?
Dan bagaimana hak-hak asasi manusia dalam political liberty?
Oposisi dan Kekuasaan
Untuk memahami pertanyaan diatas, maka perlu mengulas kedudukan oposisi dalam sistem demokrasi. Oposisi secara umum dapat dipahami sebagai kelompok kekuatan yang ingin mengontrol dan mengkoreksi suatu kebijakan pemerintah yang dianggap keliru atau salah.
Ada pula yang mengartikannya sebagai kekuatan yang semata-mata menentang setiap kebijakan dan langkah penguasa, tanpa menimbang apakah kebijakan tersebut masih dalam suatu kewenangan atau kesewenang-wenangan.
Politik oposisi sejatinya adalah hal yang melekat di dalam demokrasi, ia dipraktekan untuk menjamin demokrasi tetap bekerja dan memastikan monopoli kebenaran tidak boleh terjadi.
Sayangnya pelembagaan politik oposisi di Indonesia merupakan hal yang masih sulit terwujud. Kurang efektifnya peran oposisi di Indonesia. Hal ini bisa dilihat ketika Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang sejatinya merupakan rival Jokowi-Maruf Amin pada Pilpres 2019 saat ini ikut masuk dalam Kabinet.
Memang oposisi di Indonesia sebagai sebuah kekuatan politik masih kurang familiar, partai politik yang tidak masuk dalam kekuasaan tidak mau disebut oposisi melainkan kekuatan check and balance.
Jika partai politik dinilai masih belum efektif menjalankan fungsi kontrol, publik justru melihat lebih efektifnya fungsi tersebut diperankan oleh kekuatan civil society.
Inilah yang ingin dimainkan oleh FPI sebagai kelompok civil society yang mencoba berperan sebagai kelompok tandingan karena karena oposisi dari partai politik tidak berjalan efektif.
Seharusnya partai-partai politik yang tidak turut dalam pemerintahan mengambil peran oposisi dalam melaksanakan fungsi dan tugas mereka sebagai wakil rakyat untuk mengimbangi dan mengawasi jalannya pemerintahan agar tidak menyimpang dari ketentuan dalam konstitusi yang disertai penjelasannya.
Politik oposisi kerap dilihat sebagai kegiatan politik yang kurang bergengsi ketimbang kegiatan memerintah. Oposisi dianggap sebagai tertundanya kesempatan berkuasa. Karena itu, oposisi menjadi identik dengan aktivitas menjatuhkan kekuasaan.
Di Amerika Serikat pasca penyerangan Gedung capitol AS oleh pendukung Donald Trump, Partai Republik justru marah akan sikap trump yang membiarkan pendukungnya melakukan aksi massa dan berbalik meminta Trump agar segera mundur.
Pemberontakan sikap Trump menolak hasil pemilu mencoreng wajah Amerika Serikat yang demokrasinya sudah berdiri sejak 200 tahun yang lalu.
Political Liberty dan HAM
Dalam Deklarasi Universal HAM 1949 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu, termasuk persamaan kedudukan dalam politik dan hukum.
Apa yang terjadi di Indonesia kilas balik terhadap kasus penembakkan terhadap warga sipil oleh oknum aparat kepolisian di KM 50 adalah extrajudicial killing.
Extrajudicial killing bisa diartikan sebagai tindakan-tindakan, apapun bentuknya, yang menyebabkan seseorang mati tanpa melalui proses hukum dan putusan pengadilan yang dilakukan oleh aparat negara.
Sementara itu di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia berlaku Asas Praduga tak bersalah. Pengakuan tentang asas praduga tak bersalah berhubungan erat dengan hak-hak asasi manusia yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.
Konsekuensinya adalah tersangka atau terdakwa (yang dianggap tidak bersalah) mempunyai kedudukan yang sama dengan polisi dan jaksa, dan oleh karenanya hak-hak tersangka atau terdakwa juga harus dihormati.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh seorang Presiden menyikapi hal tersebut ? Sebagai seorang kepala negara Presiden harus menghadirkan rasa keadilan terhadap warga negaranya. Karena Presiden adalah harapan semua pihak satu-satunya yang dapat mengungkap fakta kebenaran.
Berdasarkan temuan investigasi Komnas HAM bahwa terdapat pelanggaran HAM dalam peristiwa KM 50 tersebut. Seyogyanya Presiden membentuk tim independen untuk mengusut tuntas kasus tersebut agar tidak menjadi polemik di kemudian hari.
Kemudian dalam political liberty kebebasan berpendapat (freedom of speech) dan berserikat merupakan hak-hak sipil diatur dalam negara Demokrasi.
Perlindungan kebebasan berpendapat diatur secara spesifik dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat “.
Pembubaran ormas FPI yang dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Bersama yang ditandatangani enam menteri/kepala lembaga karena dianggap melakukan kegiatan yang mengganggu ketentraman, ketertiban umum, dan bertentangan dengan hukum.
Seharusnya negara menghukum terhadap pelaku yang melanggar tindak pidana bukan membubarkan organisasinya. Sama halnya dengan seorang pejabat negara yang melanggar hukum karena melakukan korupsi, pelakuknya yang dihukum bukan instansinya.
Bila ditelaah apakah sebenarnya Indonesia ini termasuk negara kekuasaan (maschtsstaat) sebagai Leviathan yang digambarkan Hobbes atau Rechtsstaat yang menghendaki adanya supremasi konstitusi?
Perlu diingat bahwa negara hukum dan demokrasi bertujuan membatasi kekuasaan pemerintah dan menolak segala bentuk kekuasaan tanpa batas.
Lalu bagaimana dengan di Amerika Serikat?, kebebasan berbicara dan berekspresi sangat dilindungi dari pembatasan pemerintah oleh Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat.
Kebebasan berekspresi di Amerika Serikat tanpa sensor, bahkan seorang penista agama tidak dapat dihukum, penghujatan adalah risiko yang harus diterima demi kebebasan menyampaikan pendapat.
Namun demontrasi yang dilakukan oleh pendukung Trump di Gedung capitol mengarah kepada tindak kekerasan yang menyebabkan tewasnya lima orang.
Baik Indonesia dan Amerika memang sama-sama mengatur tentang kebebasan berpendapat dan berekpresi. Yang membedakan adalah bahwa penistaan terhadap agama bisa dituntut di pengadilan sedangkan di Amerika Serikat tidak dapat dituntut.
Bila di Indonesia ada pembubaran ormas dan organisasi terlarang, di Amerika Serikat sendiri tidak ada secara khusus organisasi yang dilarang oleh Undang-Undang..
Potret demokrasi di Indonesia dan Amerika saat ini sedang pasang surut, apakah ini merupakan kemunduran demokrasi?
Jadi sebenarnya memahami kekuasaan, menurut Foucault, tidak dipahami dalam konteks pemilikan oleh suatu kelompok institusional sebagai suatu mekanisme yang memastikan ketundukan warga negara terhadap negara.
Kekuasaan juga bukan mekanisme dominasi sebagai bentuk kekuasaan terhadap yang lain dalam relasi yang mendominasi dengan yang didominasi.
Kekuasaan bukan seperti halnya bentuk kedaulatan suatu negara atau institusi hukum yang mengandaikan dominasi atau penguasaan secara eksternal terhadap individu atau kelompok.
Hakekatnya kekuasaan seperti dua mata pisau, bisa menghadirkan keadilan dan kebaikan bagi warganya. Selain itu, kekuasaan dan juga bisa melahirkan keburukan dan kejahatan yang mengakibatkan kesewenang-wenangan.
Moh Iqbal Alam Islami
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia