Melalui kanal Youtube pribadinya, pendiri Yayasan Kalaweit itu memberikan analisa penyebab banjir yang tercatat melanda di tujuh kabupaten/kota tersebut.
Menurutnya, sangat sulit untuk tidak mengaitkan banjir Kalsel itu dengan kerusakan alam disana.
Sebab, telah terjadi penggundulan hutan secara masif selama beberapa dekade terakhir.
“Situasi yang ada sekarang di sana terkait deforestasi selama beberapa dekade secara besar-besaran di Kalimantan,” ungkapnya.
Bahkan, ia menyebut tidak akan sulit untuk bisa mengetahui hal itu.
Cukup dengan membuka Google Maps maka akan bisa dilihat kerusakan hutan dan hulu-hulu sungai.
“Ini yang mengakibatkan hari ini terjadi banjir,” tegasnya.
Kendati demikian, Kalaweit juga mengakui tak menutup kemungkinan adanya faktor lain yang ikut memicu banjir.
Akan tetapi, ia kembali menegaskan bahwa deforestasi yang masif di Kalimantan menjadi penyebab yang paling utama.
“Tetapi hal yang parah situasinya jelas-jelas deforestasi,” tekan dia.
Pasalnya, hal itu sangat mengurangi kemampuan tanah untuk menyimpan air pun hulang dan memicu banjir.
“Kenapa? Karena fungsi hutan, kita semua mengetahui bahwa hutan yang sehat itu menyerap air, khususnya dalam tanahnya.”
Secara alami, hutan yang sehat maka tanah secara alami akan menahan airnya untuk disimpan dan perlahan airnya akan mengalir ke sungai.
“Kalau kita babat hutan, yang terparah tanah-tanahnya ikut hancur dan pada saat hujan airnya tidak terserap dan tidak tertahan di hutan,” jelasnya.
Ia mengungkap, hujan lebat yang terjadi beberapa waktu terakhit di Kalimantan Selatan, sagat ia rasakan sekali dampakna di Muara Teweh.
“Air tersebut tidak tertahankan, langsung ke sungai-sungai, meluap dan terjadilah banjir bandang yang kita lihat sekarang di Kalimantan Selatan,” ujarnya.
Kondisi ini masih ditambah denan menumpuknya sampah di sungai.
Akan tetapi, kondisi ini tidak bisa disamakan dengan banjir di Jakarta yang menurutnya lebih karena tumpukan sampah.
“Mungkin sampah di kota seperti Jakarta kalau selokan semua pada tertutup oleh sampah jelas bisa mengakibatkan banjir,” katanya.
Namun di Kalsel, sambungnya, curah hujan yang tinggi menambah debit air lalu memicu banjir.
Ia memprediksi, jika deforestasi masif masih terus dilanjutkan, maka bukan tidak mungkin banjir serupa akan kembali terjadi dan terus terulang.
Malah, sangat mungkin juga banjir mendatang bisa semakin parah ketimbang saat ini.
“Kenapa? karena adanya perubahan iklim, pemanasan global, ada fenomena alam yang intensitasnya menjadi jauh lebih intens daripada sebelumnya dan ini juga diperparah oleh aktivitas manusia,” tegasnya.
Hal lain yang juga memperparah adalah munculnya fenomena El Nino dengan intensitas hujan yang lebih lebat dari sebelumnya.
“Kini kita hanya berharap agar hujan berhenti dan airnya surut. Namun, kita harus mencerna bahwa ini akan rentan berulang terus,” ucapnya.
Dengan kondisi demikian, lanjutnya, banjir hebat yang terjadi setiap 20-30 tahun, saat ini bisa berulang setiap 5 tahun.
“Air yang saat ini begitu tinggi, mungkin di tahun selanjutnya akan bisa lebih tinggi karena adanya deforestasi yang hebat sejak tahun 60-an,” katanya.
Karena itu, ia mengingatkan perlunya melakukan restorasi dan penanaman kembali hutan-hutan yang hilang sesegera mungkin.
Hal itu dilakukan agar banjir serupa tidak akan terulang dan lebih parah lagi di masa mendatang.
Untuk diketahui, banjir di Kalimantan Selatan saat ini sudah melanda di tujuh kabupaten/kota.
Di antaranya Kabupaten Banjar dan Kota Banjar Baru, Kota Tanah Laut, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Balangan serta Kabupaten Tabalong.
Hal itu didasarkan pada catatan Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). [Democrazy/pjst]