"Indonesia bukan negara anggota Internasional Criminal Court (Mahkamah Internasional) karena belum meratifikasi Statuta Roma. Karena itu, Mahkamah Internasional tidak memiliki alasan hukum untuk melaksanakan suatu peradilan atas kasus yang terjadi di wilayah yurisdiksi Indonesia, karena Indonesia bukan negara anggota (state party)," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan tertulis, Selasa (26/1/2021).
Selain itu, kata Taufan, kasus tewasnya enam anggota laskar FPI juga tidak memenuhi unsur unable atau ketidakmampuan pengadilan nasional dan unwilling atau kondisi tidak bersungguh-sungguh sebuah negara dalam menjalankan pengadilan.
Sebab, saat ini proses peradilan kasus tersebut masih berjalan.
"Unsur unable dan unwilling tidak terpenuhi karena saat ini kasus tersebut masih diproses, baik oleh kepolisian maupun lembaga negara independen, yakni Komnas HAM RI. Dengan begitu, mekanisme peradilan Indonesia tidak sedang dalam keadaan kolaps sebagaimana disyaratkan Pasal 17 ayat 2 dan ayat 3 Statuta Roma," tuturnya.
"Jadi, sesuai dengan prinsip primacy, kasus pelanggaran HAM berat tadi mesti melalui proses pengadilan nasional terlebih dahulu. Mahkamah Internasional tidak bisa mengadili kasus tersebut bila peradilan nasional masih atau telah berjalan/bekerja. Sebab, Mahkamah Internasional tidak dirancang untuk menggantikan peradilan nasional. Mahkamah Internasional hanya akan bertindak sebagai jaring pengaman apabila sistem peradilan nasional 'collapsed' atau secara politis terjadi kompromi dengan kejahatan-kejahatan tersebut sehingga tidak bisa dipercaya sama sekali," imbuh Taufan.
Hambatan lainnya, kasus tewasnya enam anggota laskar FPI tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat.
Hal itu, kata Taufan, didasarkan pada data dan bukti yang dikumpulkan oleh Komnas HAM dalam investigasi kasus tersebut.
"Kasus ini tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Walaupun diakui memang ada pihak yang mendesak dan membangun opini sejak awal serta terus-menerus bahwa kasus ini adalah pelanggaran HAM yang berat, termasuk dengan cara menyebarluaskan disinformasi melalui video-video pendek yang mengutip berbagai keterangan anggota Komnas HAM atau aktivis HAM lainnya yang sebetulnya tidak berhubungan atau memiliki relevansi dengan kasus laskar FPI. Menurut Komnas HAM RI, langkah disinformasi ini disinyalir bersifat sistematis untuk membangun opini dan mendesakkan pada kesimpulan tertentu, yakni menggolongkan kasus ini pada pelanggaran HAM yang berat. Padahal, berdasarkan data dan bukti yang dikumpulkan oleh Komnas HAM RI, tidak ditemukan unsur-unsur pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dinyatakan Statuta Roma maupun Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," papar Taufan.
Taufan pun menjelaskan unsur-unsur sebuah kasus untuk disebut pelanggaran HAM yang berat atau the most serious crimes.
Pertama, ada desain operasi yang direncanakan secara sistematis berdasarkan kebijakan institusi atau negara.
"Komnas HAM RI tidak menemukan bukti ke arah itu, baik dari data yang dikumpulkan maupun berdasarkan kronologi peristiwa yang tim penyelidikan Komnas HAM RI temukan. Argumen sebaliknya dari TP3 yang mengaitkan kasus ini ke Presiden Jokowi tentu merupakan penyimpulan yang terlalu jauh. Namun, bila yang dimaksudkan adalah meminta tanggung jawab Presiden untuk memastikan penegakan hukum atas peristiwa ini, Komnas HAM tentu saja bersepakat. Bahkan atas dasar itulah kami melaporkan kasus ini secara langsung kepada Presiden Joko Widodo agar Presiden memastikan rekomendasi Komnas HAM ditindaklanjuti oleh penegak hukum," tutur Taufan.
Unsur lainnya, sebuah kasus masuk dalam kriteria pelanggaran HAM berat apabila terdapat pola serangan yang berulang sehingga dampak korbannya juga meluas.
Menurut Komnas HAM, unsur ini tidak ditemukan dalam kasus tewasnya enam anggota laskar FPI.
"Kesimpulan apakah kasus ini adalah pelanggaran HAM yang berat atau bukan, tentu saja tidak bisa didasarkan pada asumsi apalagi dengan motif politik tertentu, tetapi harus berdasarkan data, fakta, bukti, dan informasi yang diperoleh dan diuji secara mendalam berdasarkan konsepsi dan instrumen hak asasi manusia yang berlaku di tingkat nasional maupun standar internasional," kata dia.
Karena itu, Komnas HAM meminta semua pihak memahami konteks dan substansi dari perkara ini.
Selain itu, Taufan juga meminta agar tak ada asumsi yang dibangun terkait hasil investigasi Komnas HAM.
"Dengan tidak terpenuhinya berbagai syarat substansial yang kami jelaskan di atas, penting bagi Komnas HAM RI untuk meluruskan hal ini kepada masyarakat luas, agar masyarakat benar-benar memahami konteks dan substansinya serta tidak membangun asumsi yang tak berdasar. Komnas HAM RI mengimbau kepada masyarakat, TP3, para ahli hukum, dan tokoh masyarakat untuk bersama-sama memastikan proses peradilan pidana sebagaimana rekomendasi Komnas HAM RI dan sudah disetujui Presiden maupun calon Kapolri terpilih untuk benar-benar dilaksanakan dengan transparan dan jujur," pungkas Taufan. [Democrazy/dtk]