Setidaknya kasus yang terjadi di Norwegia bisa menjadi gambaran bagaimana vaksinasi harus dilakukan dengan lebih hati-hati dan tidak terburu-buru.
Begitu kata Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Iwan Sumule saat berbincang dengan redaksi, Minggu (17/1).
Mulanya Iwan Sumule mengungkapkan kekhawatirannya dengan vaksin dari Sinovac, China yang digunakan untuk program vaksinasi di Indonesia.
Vaksin yang oleh Ribka disebut sebagai barang rongsokan ini hanya memiliki efikasi sebesar 65 persen.
Sementara di Norwegia, program vaksinasi yang menggunakan vaksin Pfizer-BioNTech dengan tingkat efikasi yang nyaris sempurna, yaitu 95 persen, telah menyebabkan sebanyak 23 orang yang disuntik vaksin meninggal dunia.
“Padahal efikasi Pfizer 95 persen, gimana yang hanya 65 persen. Menakutkan. Iya nggak sih?” ujarnya.
Atas dasar itu, dia menilai protes keras yang disampaikan Ribka saat Komisi IX DPR menjamu Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebagai hal yang dapat dipahami.
Sebab bukan tidak mungkin, vaksinasi yang terkesan terburu-buru dalam mendapatkan izin dari BPOM dan MUI itu bisa menimbulkan efek samping yang lebih berbahaya.
“Pantes dr. Ribka Tjiptaning (Fraksi-PDIP) protes keras dan ragu vaksin yang disuntikkan kepada Jokowi. Gimana kalau habis vaksin terus mati macam di Norwegia?” sambungnya.
Tidak hanya sependapat soal dampak vaksinasi, Iwan Sumule juga mulai mengamini pertanyaan dari Ribka Tjiptaning yang harus mendapat jawaban.
Yaitu soal pembisik Jokowi dalam memilih Menkes pengganti Terawan Agus Putranto.
Secara khusus, Iwan Sumule menyoroti pernyataan enteng dari Menkes Budi yang menyebut bahwa negara akan menanggung biaya Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).
Sebab, sambung Iwan, pembiayaan berapapun tidak akan mampu membayar nyawa yang hilang.
“Benar juga kata Ribka Tjiptaning, entah siapa pembisik Jokowi, pilih menkes yang tak punya latar belakang kedokteran,” ujarnya.
“Emangnya nyawa orang bisa dibeli gantinya?” demikian Iwan Sumule. [Democrazy/rmol]