“Kami sangat kecewa dengan putusan MK yang tidak memiliki argumen hukum yang kuat. MK lebih mendengarkan suara kekuasaan,” kata Rizal lewat keterangan tertulis, Ahad, 17 Januari 2020.
Rizal mengatakan sistem ambang batas presiden 20 persen merupakan legalisasi dari sistem politik uang dan kriminal yang merusak kehidupan bernegara dan merugikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat.
Di seluruh dunia, kata dia, ada 48 negara yang menggunakan sistem pemilihan dua tahap seperti di Indonesia, tetapi tidak ada pembatasan semacam presidential threshold.
Dia mengatakan di Ukraina yang bahkan memiliki 39 calon presiden, dengan 18 orang dicalonkan parpol yang berbeda dan 21 orang dicalonkan independen.
“Itulah esensi demokrasi yang sesungguhnya, rakyat yang menyortir dan memilih calon presiden. Bukannya malah parpol yang melakukan sortir dan pre-seleksi calon presiden berdasarkan kriteria kekuatan finansial,” kata dia.
Menurut Rizal, akibat sistem presidential threshold, kekuatan uang menjadi sangat menentukan bagi pemilihan pemimpin di Indonesia.
Kelompok utama yang mendukung sistem itu, kata dia, adalah bandar dan cukong.
“Para hakim MK yang menolak pembahasan masalah yang sangat prinsipil ini menunjukkan kelemahan pemahaman mereka terhadap sistem demokrasi dan tanda dari gejala kepicikan dan kecupetan berpikir,” kata dia.
Rizal Ramli mengatakan tengah mempertimbangkan opsi selanjutnya setelah MK menolak gugatannya.
Dia mengatakan hal itu untuk mendorong pembahasan yang berbobot dan ilmiah tentang buruknya sistem presidential threshold. [Democrazy/tmp]