Dalam kunjungan Wang Yi ke Jakarta pada Rabu (13/1), Retno menyampaikan pentingnya menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut China Selatan dengan menghormati dan mematuhi hukum internasional, salah satunya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982.
"Saya menyampaikan kembali mengenai pentingnya menjaga Laut China Selatan sebagai laut yang damai dan stabil. Untuk mencapainya, hanya satu hal yang harus dilakukan oleh semua negara, yaitu menghormati dan menjalankan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982," tegas Retno ketika itu.
Namun hanya beberapa jam setelah pernyataan tersebut dikeluarkan, Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI melaporkan telah mencegat kapal survei milik China di perairan Selat Sunda pada Rabu malam.
Kapal tersebut diidentifikasi sebagai kapal survei Xiang Yang Hong 03 dengan bendera China berkibar di atasnya. Kapal melaju dengan kecepatan 10,9 knots menuju Barat Laut.
Menurut Bakamla, kapal itu mematikan automatic identification system (AIS) sebanyak tiga kali.
Padahal, AIS merupakan sistem lacak otomatis yang dapat memberikan data perihal posisi, waktu, haluan, dan kecepatan kapal.
Kapal sendiri mengklaim berupaya menggunakan Hak Lintas Alur Kepulauan sesuai dengan UNCLOS untuk pergi ke Samudera Hindia.
Tetapi berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 7/2019, setiap kapal lokal dan asing yang berlayar di wilayah Indonesia wajib mengaktifkan AIS.
Pengamat hubungan internasional dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Teguh Santosa menyebut, China telah berani bermain-main dengan Indonesia karena memahami fragmentasi sikap Indonesia.
"China paham benar bahwa Indonesia menganggap mereka sebagai teman yang bisa diandalkan di tengah situasi ekonomi yang tidak baik dan pandemi Covid-19," ujar Teguh, Minggu (17/1).
"Di saat yang sama, China paham Indonesia tidak sungguh-sungguh memilih jalan kedaulatan untuk mengurangi dan menghilangkan ketergantungan akan hal-hal substansial pada negara lain. Jadi wajar kalau mereka tetap besar kepala," sambungnya.
Selain itu, Teguh juga menyoroti kebiasaan China yang memang tidak ingin memahami peringatan yang disampaikan negara lain.
"Berdasarkan pengalaman Filipina, saya pesimistis untuk saat ini China mau mengerti dan mau menganggap ketegasan yang disampaikan Menlu Retno Marsudi," kata Teguh.
Berdasarkan hasil tribunal Permanent Court of Arbitration (PCA) di Den Haag, Belanda pada 2016, klaim sembilan garis putus-putus China dipatahkan oleh hukum internasional atas gugatan Filipina. Filipina menang atas klaimnya di perairan Kepulauan Spartly.
Meski begitu, selama persidangan yang memakan waktu tiga tahun itu, China tidak pernah hadir dan justru meningkatkan eksistensinya di Laut China Selatan. [Democrazy/rmol]