Kini penyidik mencari tahu perihal dugaan 'kickback' dari PT DI ke pihak tertentu di Sekretariat Negara (Setneg) terkait pengadaan helikopter.
Awalnya penyidik KPK memeriksa sejumlah saksi yaitu Kemal Hidayanto, Achmad Azar, Suharsono, dan Teten Irawang.
Mereka telah menjalani pemeriksaan sebagai saksi pada Rabu, 27 Januari 2021.
Kemal disebut sebagai Manajer Pemasaran ACS (Aircraft Service) PT DI tahun 2013-2017 serta sebagai Manajer Penjualan ACS Wilayah Domestik PT DI tahun 2017-2018.
Achmad Azar sebagai Manajer Penagihan PT DI tahun 2016-2018 dan Teten Irawan sebagai General Manager SU ACS PT DI tahun 2017 serta seorang lagi yaitu Suharsono sebagai mantan Kabiro Keuangan Setneg tahun 2006-2015.
Lantas apa yang ditanya pada para saksi itu?
"Melalui keterangan para saksi tersebut, tim penyidik KPK masih terus mendalami adanya dugaan penerimaan sejumlah dana sebagai 'kickback' dari PT Dirgantara Indonesia kepada pihak-pihak tertentu di Setneg terkait pengadaan pesawat di Setneg," ucap Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (28/1/2021).
Ali menjelaskan pengadaan pesawat yang dimaksud merupakan helikopter yang tahun pengadaannya pada 2014-2017. Namun Ali tidak merinci lebih detail.
"Pengadaan dan pemeliharaan pesawat helikopter tahun 2014 sampai dengan 2017," ucapnya.
Sebelumnya pada Selasa, 26 Januari 2021 KPK memanggil eks Sekretaris Setneg Taufik Sukasah, eks Kabiro Umum Setneg Indra Iskandar, dan Kabiro Umum Setneg Piping Supriatna dalam perkara yang sama.
Penyidik KPK menelusuri dugaan aliran dana terkait perkara korupsi di PT DI ke Setneg dari keterangan dua orang mantan pejabat di Setneg.
"Kedua saksi tersebut didalami pengetahuannya terkait adanya dugaan penerimaan sejumlah dana oleh pihak-pihak tertentu di Setneg terkait proyek pengadaan servis pesawat PT Dirgantara Indonesia," kata Ali saat itu.
Tanggapan Setneg
Mengenai pemeriksaan mantan pegawainya, Setneg memberikan tanggapan. Apa kata Setneg?
"Sebaiknya ditanyakan kepada KPK," ujar Sekretaris Kemensetneg Setya Utama lewat pesan singkat pada Rabu (27/1/2021).
Pihak Setneg belum mau berbicara banyak soal dugaan aliran dana kasus PT DI ke kementeriannya. Setneg menyerahkan ke KPK untuk penjelasan lebih detail.
"Saya kira ini sedang berproses hukum di KPK. Sebaiknya ditanyakan ke KPK saja," ujar Asisten Deputi Humas Setneg Eddy Cahyono dalam kesempatan terpisah.
Dalam pusaran perkara dugaan korupsi pengadaan kegiatan penjualan dan pemasaran pada PT DI tahun 2007-2017, awalnya KPK menjerat dua orang tersangka yaitu mantan Direktur Utama PT DI Budi Santoso dan mantan Asisten Direktur Utama Bidang Bisnis Pemerintah PT DI Irzal Rinaldi Zailani.
Keduanya saat ini sedang menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Bandung karena diduga melakukan korupsi. Modusnya dengan membuat kontrak fiktif.
Belakangan pada 22 Oktober 2020 KPK menetapkan 4 tersangka baru dalam kasus ini yaitu:
- Budiman Saleh selaku Direktur Utama PT PAL (Persero);
- Arie Wibowo selaku Kepala Divisi Pemasaran dan Penjualan PT DI pada 2007-2014 dan Direktur Produksi PT DI pada 2014-2019;
- Didi Laksamana selaku Direktur Utama PT Abadi Sentosa Perkasa; dan
- Ferry Santosa Subrata selaku Direktur Utama PT Selaras Bangun Usaha.
Dalam kasus ini KPK menduga pada Juni 2008 sampai 2018, dibuat kontrak kemitraan/agen antara PT DI yang ditandatangani oleh Direktur Aircraft Integration dengan Direktur PT Angkasa Mitra Karya, PT Bumiloka Tegar Perkasa, PT Abadi Sentosa Perkasa, PT Niaga Putra Bangsa, dan PT Selaras Bangun Usaha.
Atas kontrak kerja sama mitra/agen tersebut, KPK menyebut seluruh mitra/agen tidak pernah melaksanakan pekerjaan berdasarkan kewajiban yang tertera dalam surat perjanjian kerja sama.
KPK menyebut sepanjang 2011-2018, keenam perusahaan mitra/agen itu mendapat pembayaran dari PT DI sekitar Rp 205,3 miliar dan USD 8,65 juta.
Kemudian ada sejumlah pejabat PT DI, termasuk Budi dan Irzal, yang meminta sejumlah uang ke enam mitra/agen tersebut.
Total uang yang sudah diterima senilai Rp 96 miliar.
KPK menduga perbuatan tersangka mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 205,3 miliar dan USD 8,65 juta atau setara dengan Rp 125 miliar.
Jika ditotal, kerugian negara dalam kasus itu diduga mencapai Rp 330 miliar. [Democrazy/dtk]