PERISTIWA

Jejak Pers Peranakan China dan Arab, dari Nekat Muat Teks Indonesia Raya dan Dukung Pergerakan

DEMOCRAZY.ID
Januari 13, 2021
0 Komentar
Beranda
PERISTIWA
Jejak Pers Peranakan China dan Arab, dari Nekat Muat Teks Indonesia Raya dan Dukung Pergerakan

Jejak-Pers-Peranakan-China-dan-Arab-dari-Nekat-Muat-Teks-Indonesia-Raya-dan-Dukung-Pergerakan
DEMOCRAZY.ID - Perjalanan pers negeri ini tak bisa dilepaskan dari kiprah media massa kaum peranakan. 

Tak kalah dari pers Bumiputera, sejumlah media peranakan  itu mendukung serta  bersimpati terhadap kaum pergerakan melawan Pemerintah Hindia Belanda. 


Bahkan, teks lagu kebangsaan Indonesia Raya pertama kali dimuat  di salah satu media mereka.


Kwee Kek Beng terbilang nekat. Pendiri dan Pemimpin Redaksi Koran China-Melayu Sin Po cuek saja menerbitkan teks lagu Indonesia Raya di medianya. 


Lagu tersebut merupakan gubahan reporter Sin Po, WR Soepratman serta pernah diperdengarkan secara instrumental di momen Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Belanda jelas-jelas melarang syair lagu itu diperdengarkan. 


"Belanda pasti marah bila teks lagu ini dicetak. Anda berani?" tanya WR Soepratman kepada Kek Beng. 


Alih-alih takut, Kek Beng justru mencetak Sin Po lima ribu eksemplar jauh lebih banyak dari tiras biasa. Kek bahkan memberikannya khusus kepada Supratman guna disebarkan untuk teman-temannya. 


Kisah kenekatan Kek tersebut terdapat dalam buku, Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan karya Rusdi Mathari. 


Rusdi, wartawan senior yang telah berpulang itu sempat mewawancarai Kwee Hin Houw, putra Kek saat mengunjungi Jakarta. 


Sin Po dan Sin Tit Po


Sin Po merupakan salah media peranakan China-Melayu yang menunjukkan dukungan kepada kaum pergerakan nasionalis Indonesia kala Pemerintah Hindia Belanda masih bercokol. 


Houw, tutur Rusdi, juga menyebutkan Sin Po adalah koran pertama yang tidak menggunakan kata Inlander bagi kaum pribumi. 


‎Kek bahkan punya kedekatan dengan Sukarno.  Bung Karno sering datang ke Kantor Sin Po di Jalan Asemka, Jakarta Barat untuk berdiskusi mengenai kemerdekaan Indonesia.


Sikap kritis Kek melalui Sin Po berlanjut saat Jepang menduduki Tanah Air pada 1942. 


Ia masuk orang yang paling dicari Kempeitai atau polisi rahasia Jepang karena kerap mengkritik Negeri Matahari Terbit itu dan menyerukan orang Indonesia dan China memboikot alias tidak membeli produk Jepang. 


Diburu Jepang, Kek malah mengontrak rumah di Cicendo, Bandung yang berada tepat di di depan markas Kempeitai. 


"Ayah saya ingat pepatah Tionghoa, kalau tak bisa menghindari macan duduklah di hidung macan," kata Houw seperti dikisahkan Rusdi.


Peranan sejumlah jurnalis dan media peranakan Tionghoa juga diungkapkan Leo Suryadinata dalam bukunya, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Kisah pemuatan teks Indonesia Raya dalam Sin Po juga disinggung Leo. 


Menurutnya, lagu kebangsaan tersebut dimuat dalam edisi Sin Po dengan format majalah bernama Weekbland Sin Po. 


Media kaum peranakan yang lahir pada Oktober 1910 itu memang berpendirian nasionalisme China. Lambat laun, mereka justru semakin mendukung pergerakan kaum nasionalis Indonesia dan berhubungan erat dengan para pemimpinnya.


Leo menukil tulisan Kwee Kek Beng dalam bukunya, Doea Poeloeh Lima Tahoen Sebagi Wartawan 1922-1947. 


"Pada satoe hari di kita poenja roemah di Paalmerah telah dateng...Ir Soekarno dengan lagi satoe pemimpin Indonesier. Mereka minta kita bantoe satoe tijdschrift jang Ir Soekarno terbitken dan poen ingin minta kita poenja perantarahan boeat dapet contact dengan toean Thung Liang Lee di Tiongkok sebab Ir Soekarno ingin sekali rapetkn perhoeboengan dengan bangsa kita dan dengan Tiongkok," tulis Kek.


Dukungan terhadap pergerakan nasional Indonesia juga muncul dari surat kabar peranakan Tinghoa lain, Sin Tit Po yang terbit di Surabaya pada akhir 1920-an. 


Pemimpin redaksi dan penanggung jawab Sin Tit Po adalah Liem Koen Hian, tokoh peranakan yang mendukung pergerakan kaum nasionalis Indonesia. 


Liem dengan surat kabarnya tak ragu menyerang Pemerintah Belanda serta menuntut kemerdekaan Indonesia seperti yang dilakukan kaum pergerakan nasional. 


"Sin Tit Po menganggap dirinya sebagai satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pers nasional dan mengikuti semua peristiwa pergerakan yang penting," kata Leo.


Sin Tit Po juga seperti menjadi rahim bagi lahirnya Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 25 September 1932. 


Surat kabar itu kemudian menjadi organ PTI serta memiliki kesamaan pendirian membantu kemajuan ekonomi, sosial, politik Indonesia menjadi suatu negeri. 


Pendirian itu membuat Sin Tit Po menyerang Chung Hua Hui yang tidak bersimpati pada perjuangan Bangsa Indonesia serta propemerintah Belanda. 


"Berdasarkan alasan itu pula, Sin Tit Po menyiarkan berita-berita yang menguntungkan pergerakan kaum nasional Belanda," ucap Leo. 


Apabila tajuk rencananya diteliti sejak berdiri hingga 1942, lanjut Leo,  kesan Sin Tit Po tak pernah absen dalam pergerakan nasional akan muncul. 


Pada 2 Desember 1939, tepat ketikan surat kabar itu merayakan hari jadinya ke-10 dengan mengeluarkan edisi khusus, Sin Tit Po mendapatkan banyak ucapan selamat dari tokoh pers Indonesia dan Indo-Arab dalam bentuk tulisan dalam media tersebut.


Selain WR Soepratman, ‎sejumlah tokoh dan jurnalis Bumiputera pun pernah bekerja di media peranakan Tionghoa-Indonesia. 


Ada D Koesoemaningrat yang bekerja di Sin Po sejak 1918, Saeroen di Keng Po pada 1925, tak ketinggalan BM Diah dan Adam Malik yang ikut terjun dalam pers peranakan itu.


Lalu mengapa pers Tionghoa-Indonesia punya  simpati pada pergerakan nasional? 


Jawabannya terletak pada rasa senasib sepenanggungan sebagai sesama bangsa di Asia yang sama-sama menderita karena imperialisme. Nasionalisme Tiongkok dan Indonesia tak bertentangan bahkan saling membantu. 


"Bukan hal yang mustahil, kalau orang tua di Indonesia umumnya dan kaum intelektual khususnya menaruh simpati pada pergerakan nasional Indonesia," tulis Leo.


Pers Indonesia-Arab


Pergulatan identitas sebagai perantau dan dukungan terhadap nasionalisme Indonesia bukan hanya khas pers peranakan Tionghoa saja. Golongan Indonesia-Arab yang didominasi keturunan Hadramaut, Yaman Selatan juga punya media massa sebagai alat penyebar gagasannya. 


Jika Sing Tit Po terkait erat dengan Partai Tionghoa Indonesia, sejumlah Indo-Arab mendirikan Persatoan Arab Indonesia pada 5 Oktober 1934 di Semarang.


Mereka juga mendirikan  media berupa majalah bulanan bernama Aliran Baroe pada 1938. Hoesin Bafagih menjadi pemimpin redaksi, S Makati sebagai direktur dan Abdul Rahman (AR) Baswedan selaku pendiri PAI sebagai penyumbang tulisan. 


"Pada Januari 1939, Aliran Baroe beroplah 1.500 eksemplar, tetapi mencapai pembaca yang jumlahnya jauh lebih besar," tulis Huub De Jonge, dalam bukunya, Mencari Identitas: Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950). 


Para direktur, tutur De Jonge, punya kebiasaan lucu tetapi praktis, yaitu menerbitkan nama pelanggan yang lupa membayar langganan mereka. 


Aliran Baroe menjadi corong nasionalisme Indonesia dari orang-orang keturunan Hadramaut yang lahir di negeri ini. 


"Jurnal tersebut meningkatkan pengidentikan orang Hadhrami dengan Indonesia sebagai Tanah Air, dan menjadi kekuatan utama dalam mengakhiri keterkucilan sosial dan kultural relatif mereka di Indonesia," kata De Jonge.


Keterkaitan Tokoh Pers Indo-Arab dan Indo-Tionghoa.


AR Baswedan, wartawan Indonesia keturunan Hadhrami pernah bekerja di Sin Tit Po sebagai anggota staf redaksi. 


Mulanya, ia ditawari bekerja oleh Liem Koen Hian, Pemred surat kabar tersebut pada 1932. Liem adalah tokoh peranakan Tionghoa yang orientasi nasionalismenya adalah Indonesia, bukan Tiongkok. 


"Pandangan politik Liem dan anggota dewan redaksi lainnya memberi Baswedan asupan intelektual tentang hubungan antara totok dan peranakan dalam minoritas Hadhrami, dan tentang hubungan antara orang Hadhrami dan penduduk Indonesia pada umumnya," kata De Jonge.


Baswedan pun tambah menyadari hubungan orang Hadhrami yang lahir di Hindia Belanda lebih dekat dengan orang Indonesia ketimbang masyarakat Yaman Selatan, tanah asal leluhur mereka. 


Baswedan juga pernah media dwimingguan baru, Matahari yang diterbitkan di Semarang pada 1934. Koran itu dipimpin oleh eks wartawan Sin Po, Kwee Hing Tjiat. 


Cara pandang redakturnya yang menganjurkan kerja sama erat kelompok indo dengan orang Indonesia, tutur De Jonge, juga didukung Baswedan sepenuh hati. 


Sejarah pers negeri ini mencatat kelindan lekat para jurnalis dan media keturunan bersama kaum Bumiputra dalam menyalakan suluh nasionalisme Indonesia menentang kolonialisme Belanda. [Democrazy/pikiranrakyat]

Penulis blog