Revisi UU Pemilu yang ada, tidak ada jaminan akan lebih baik dari yang ada saat ini.
Demikian disampaikan pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana), Samuel F. Silaen kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (27/1).
"Nada-nada sumbang dan tak sedap berembus kencang dari Senayan, wacana rencana revisi UU Pemilu. Tak dapat dipungkiri bahwa rencana revisi UU Pemilu ini dipastikan sarat dengan muatan kepentingan pragmatis, yang jauh dari kepentingan rakyat," ujar Samuel.
"Dan patut diduga ini hanya untuk kepentingan segelintir elite parpol yang ingin dapat "setoran" dari para kontestan yang akan mau maju dan akan kembali maju (petahana)," lanjut dia.
Di dalam draf RUU Pemilu, pilkada akan dinormalisasi. Artinya, Pilkada 2022 dan 2023 akan kembali diadakan seperti dalam UU tahun 2015.
Samuel mengutip pandangan Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan bahwa rencana revisi UU Pemilu belum diperlukan karena UU tersebut belum lama direvisi.
"Pandangan Zulhas itu tentu saja punya korelasi kekinian dengan keadaan bangsa yang belum sepenuhnya pulih dari dampak Covid-19. Wacana penyelenggaraan Pilkada 2022 dan 2023 itu tak lepas dari kejar "setoran" dari para kontestan yang akan turun "gelanggang" perebutan kursi kepala daerah," tutur dia.
Untuk itu, Samuel menyarankan kepada pemerintah menolak tegas rencana revisi UU Pemilu yang belum lama direvisi tersebut.
Jelas dia, rencana penggabungan pilkada dengan pilpres dan pileg bagian dari penyederhanaan pemilu agar efesien dan menghemat anggaran.
Ujicoba Pilkada serentak 2020 tergolong berjalan mulus meski dilakukan di tengah pandemik Covid-19.
Kebijakan pemerintah yang tadinya diragukan oleh berbagai kalangan akan jadi kluster penyebaran Covid-19 tidak sepenuhnya terbukti, wacana untuk menunda sampai wabah Covid-19 melandai tak menyurutkan langkah pemerintah atas melaksanakan keputusan yang sudah diambil tersebut.
Jadi, lanjut Samuel, kalau karena banyak kepala daerah yang Plt atau Pjs tidak sepenuhnya buruk demi langkah perbaikan untuk jangka panjang yang komprehensif.
"Adapun rencana akan ada Pilkada 2022 dan 2023 itu sama saja tidak mau memperbaiki bangsa ini ke arah yang lebih efisien dan sederhana," imbuhnya.
Menurutnya, jangan karena ingin memuaskan hasrat politik elektoral parpol, maka revisi UU Pemilu dipaksakan dan itu akan menodai rencana pemerintah yang ingin menyatukan pilkada serentak bersamaan dengan Pemulu 2024 terancam gagal dan berantakan.
"Alih-alih ingin memperbaiki eh malah punya ide dan gagasan untuk kembali ke sistem pilkada sebelumnya," kritik Samuel.
Pilkada serentak dilaksanakan agar bangsa ini tidak repot berkali-kali setiap tahun ada pilkada yang menguras emosi publik dan pemborosan anggaran negara.
Rencana revisi UU pemilu sarat dengan muatan kepentingan pragmatisme parpol dan bukan kepentingan rakyat Indonesia.
"Pemerintah dengan gagasannya dalam melakukan penataan dan perbaikan yang lebih baik jangan sampai mundur dalam menata sistem kepemiluan yang sederhana dan efisien. Mengembalikan pelaksanaan pilkada kepada model yang lama sama saja melanggengkan cara dan sistem yang usang. Semoga pilkada serentak berikutnya yang akan dilaksanakan bersamaan dengan pilpres terlaksana dengan baik," pungkas Samuel. [Democrazy/rmol]