Hal itu merespons pertanyaan beberapa anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat soal utang.
"Ini saya ingatkan kembali kenapa ada tambahan utang, karena defisit yang melebar, pertama untuk membantu rakyat, menangani Covid-19, dan membantu dunia usaha terutama UMKM," kata Sri Mulyani dalam rapat virtual dengan komisi XI DPR, Rabu, 27 Januari 2021.
Adanya penambahan utang terjadi, kata dia, karena penerimaan negara yang sedang jatuh.
Kendati begitu, dia memastikan pemerintah mengelola utang secara hati-hati.
Terlebih pada tahun 2020 terjadi hal-hal yang extraordinary dan butuh respons kebijakan yang juga luar biasa dari pemerintah.
Semula, kata Sri Mulyani, APBN 2020 awal didesain dengan defisit 1,76 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dengan keseimbangan primer hanya Rp 12 triliun atau hampir balance.
Hal itu menunjukkan konsisten fiskal yang dikelolanya sejak 2016 untuk mendukung prioritas nasional dengan APBN yang tetap sehat.
Namun semua berubah ketika pandemi datang.
"Fiskal itu tool bukan objektif, bukan tujuan, dia adalah alat. Alat ini kita gunakan untuk tepat waktu, tepat ukuran, dan tepat komposisi," ujar bendahara negara tersebut.
Lebih jauh, Sri Mulyani menjelaskan, tujuan akhir dari kebijakan fiskal atau APBN adalah penciptaan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ketika awal pandemi Covid-19 terjadi, semua kegiatan berhenti, tapi APBN tidak boleh berhenti.
Karena kalau berhenti, menurut dia, banyak masyarakat miskin, tidak punya pekerjaan, dan ekonomi merosot.
"Karena itu, APBN bekerja lebih dulu dan lebih keras."
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah per akhir Desember 2020 berada di angka Rp 6.074,56 triliun.
Rasio utang pemerintah tersebut terhadap PDB sebesar 38,68 persen.
Namun rasio utang publik Indonesia termasuk yang paling rendah di antara negara ASEAN dan G20.
"Pertambahan utang di 2020 juga menjadi salah satu paling kecil di antara negara ASEAN dan G20," kata Sri Mulyani. [Democrazy/tmp]