Namun, kejadian itu diduga berlangsung begitu cepat, sehingga pilotnya tak sempat untuk menyelamatkannya.
Terkait kejadian tersebut, pengamat penerbangan Alvin Lee turut memberi pandangannya.
Dia mengungkapkan sejumlah hal yang diduga bisa menjadi penyebab jatuhnya pesawat jenis Boeing 737-500 tersebut.
Misalnya, dari segi usia pesawat yang sudah 26 tahun.
Faktor ini menurut dia buknalah penyebab utama, karena kalau perawatannya bagus, maka kondisi pesawat pasti bagus juga.
“Saya kira yang pertama tidak ada kaitannya dengan usia pesawat. Pesawat memang usianya sudah 26 tahun, tapi kalau perawatannya baik tidak ada masalah," katanya.
“Kemudian pesawat ini juga pernah dikandangkan oleh Sriwijaya antara Maret sampai Oktober tahun lalu. Setelah itu kembali aktif lagi terbang,” lanjutnya.
Namun, kalau dilihat data grafik penerbangan, kecepatan, ketinggian, dan sebagainya, dapat disimpulkan jika pesawat itu telah mengalami kehilangan ketinggian secara drastis.
Bahkan, dari data yang ada, pesawat itu meluncur deras dari ketinggian 10 ribu kaki di atas permukaan laut.
“Kecepatan vertikalnya atau kecepatan turunnya mendekati 30 ribu kaki per menit. Berarti kalau ada di ketinggian 10 ribu kaki, Sriwijaya itu terhempas ke permukaan laut hanya butuh sepertiga menit atau cuma butuh 20 detik,” katanya.
Pada kesempatan itu, Alvin kemudian mengurai sejumlah faktor lain. Sebut saja mulai dari unsur mesin.
Dari pandangan Alvin Lee, untuk sektor ini juga diduga tidak menyumbang masalah.
Sebab andai sekalipun dua mesin pada pesawat mati, burung besi itu masih dapat untuk melayang di udara.
Di mana dari prosedur yang ada, pilot akan mengarahkan pesawat itu untuk mendarat secara darurat.
Sedangkan dari masalah unsur cuaca sebab Sriwijaya Air jatuh, lagi-lagi dia menyangsikannya.
“Kalau untuk unsur cuaca, saya kira enggak sebegitunya deh. Karena pada saat yang sama juga banyak pesawat yang melakukan penerbangan di wilayah yang sama. Jadi mungkin saja pesawat mengalami masalah dengan sistem kendali,” katanya menganalisa.
“Sebab ini kan sedemikian drastis, saya cek juga tidak ada panggilan darurat, pilot juga tidak melaporkan kondisi kerusakan, serta kondisi darurat ke Air Traffic Controller, sehingga diperkirakan ini sedemikian cepat dan mendadak, serta pilot tidak bisa berbuat apa-apa.”
Maka itu, dia menyebut, kemungkinan besar pesawat itu ketika turun kehilangan ketinggian sedemikian cepat juga sudah tidak dapat dikendalikan.
Ada satu pertanyaan lain yang acap disampaikan sejumlah pihak terkait mengapa pesawat mencoba terus bergerak ke barat laut ketika itu.
Atas hal ini, Alvin menyatakan kemungkinan itu adalah bagian dari prosedur. Sebab, kata dia, pesawat tak semestinya hanya bergerak sesuai arah.
Bisa saja pesawat diputarkan dahulu untuk mendapat momen terbang aman.
Adapun untuk jalur, tentu sudah ada prosedurnya, ke mana harusnya pesawat itu lewat.
Dan apabila pilot melenceng dari jalurnya, Alvin Lee pasti meyakini akan ada komunikasi dari ATC dengan pilot.
“Kemudian dari ketinggian, 10 ribu, kemungkinan pesawat itu baru beberapa menit take off, sehingga belum stabil ketinggiannya. Lalu di dalam kabin, pasti tanda mengenakan sabuk pengaman juga masih hidup,” tutup Alvin. [Democrazy/lwjs]