Khususnya saat dia bertanya tentang siapa pembisik Jokowi.
Pernyataan yang tentu tidak bisa dianggap sepele mengingat Ribka adalah orang dekat dan salah satu kepercayaan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Setidaknya, sejak tahun 2010 lalu, Ribka sudah dipercaya untuk menjabat sebagai ketua di struktur pimpinan pusat PDIP.
Saat berbincang dengan redaksi, Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Iwan Sumule menyebut bahwa apa yang disampaikan Ribka merupakan ekspresi kekecewaan dari PDIP yang merasa telah “dikerjai” oleh Jokowi.
Banteng moncong putih, masih kata Iwan Sumule, merasa kesal atas penangkapan Juliari Batubara saat menjadi Menteri Sosial.
Bukan karena kasusnya, tapi timing atau waktu penangkapan yang tidak tepat.
Juliari ditangkap sebelum pelaksanaan pilkada digelar dan sebagai buntutnya, PDIP disebut mengalami banyak kekalahan.
Seharusnya, sambung Iwan, Presiden Jokowi bisa menghambat atau menunda penangkapan tersebut. Apalagi, Jokowi bisa menjalin “komunikasi” dengan Dewan Pengawas KPK yang secara berkala memberi laporan tentang kinerja KPK.
“Komunikasi” itu bisa menjadi penting mengingat KPK harus mengantongi izin dari Dewas sebelum melakukan penyadapan dan menangkap pejabat.
“Mestinya presiden bisa menghambat, kalau pun memang harus ditangkap, mestinya setelah pilkada. Karena penangkapan mensos, PDIP banyak kalah dalam pemilu kada kemarin,” begitu kata Iwan Sumule.
Pernyataan ini cukup masuk di akal dan relevan dengan apa yang disampaikan Ribka.
Namun demikian, belum cukup untuk menjawab pertanyaan, siapa pembisik Jokowi.
Sekadar memberi informasi bahwa PDIP dan Jokowi merenggang.
Di satu sisi, hal serupa PDIP dialami Gerindra. Penangkapan Edhy Prabowo saat menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan dalam kasus ekspor benih lobster atau benur, juga disebut sebagai salah satu faktor yang membuat Gerindra gagal pongah di Pilkada 2020.
Praktis dari 3 besar partai pemenang Pemilu 2019, hanya Golkar yang “aman” di dalam kabinet. Sejalan dengan itu, Golkar juga mengklaim berhasil menang besar di Pilkada 2020.
Apa yang terjadi pada 3 partai besar, yang semuanya telah masuk dalam barisan koalisi itu setidaknya memberi gambaran ke mana Jokowi mulai bersandar. Ya, Jokowi lebih nyaman berjalan dengan Golkar.
Ada juga dugaan bahwa Jokowi kini sudah merasa mampu memegang Golkar. Secara historis memang Jokowi dan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto bukan kerabat dekat atau terikat hubungan persahabatan yang kental.
Tapi di satu sisi, Jokowi memiliki hubungan yang kuat dengan senior Golkar, Luhut Binsar Pandjaitan.
Nama Luhut sendiri tidak pernah keluar dari kabinet. Posisinya hanya bergeser dari satu pos ke pos lain dan tetap bertahan dari periode pertama Jokowi hingga saat ini.
Hubungan Jokowi dengan Luhut juga tidak bisa dibilang baru seumur jagung layaknya hubungan Jokowi dengan Airlangga.
Keduanya sudah mengenal belasan tahun lalu dan Luhut merupakan salah satu pemilik saham perusahaan meubel Jokowi, PT Rakabu Sejahtera.
Kedekatan ini yang mungkin membuat Jokowi merasa nyaman menjadikan Golkar sebagai sandaran.
Namun di satu sisi, Jokowi juga perlu mempertimbangkan ulang perasaannya itu.
Apalagi Golkar merupakan partai yang “lincah” dalam berpolitik. Internal Golkar juga dikenal paling berdinamika.
Selain pertarungan arus bawah hingga elite partai, persaingan para senior juga tidak kalah kerasnya.
Luhut Binsar Pandjaitan hanya satu dari sekian nama senior Golkar yang biasanya dijadikan “kiblat” para kader.
Tapi yang perlu diingat Jokowi, partai beringin juga tidak lepas dari pengaruh Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, Agung Laksono, juga Aburizal Bakrie.
Tidak kalah penting diingat bahwa pasangan Gus Dur-Megawati lengser saat Akbar Tanjung menjabat sebagai ketua DPR.
Padahal ketika itu Golkar dianggap sebagai pendukung kuat Gus Dur-Megawati. [Democrazy/rmol]