Negara dalam hal ini Pemerintah memulai vaksinasi Snovac dengan disuntiknya orang nomor satu di Tanah Air, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sudah mendapatkan izin dari BPOM atas penggunaan izin darurat vasksin pada Rabu, 13 Januari 2021.
Vaksniasi sudah dimulai, tetapi pro dan kontra masih terus terjadi, hal ini disebabkan atas kekhawatiran masyarakat.
Seperti berkaitan dengan apakah masyarakat bisa menolak untuk divaksin dan dikenai sanksi bagi mereka yang menolak.
Haris Azhar menanggapi fenomena demikian dalam acara TalkShow Dua Sisi TvOne bertemakan ‘Vaksinasi: Hak atau Kewajiban?’ yang disiarkan pada Kamis, 14 Januari 2021.
Tak hanya Haris Azhar, tetapi juga hadir Arya Sinulingga selaku Staf Khusus Menteri BUMN, Ahmad Rusdan Utomo selaku Pakar Biologi Molekuler, dr.H.N. Nazar selaku Ketua Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Haris mengaku belum bersedia divaksin lantaran tidak yakin akan kualitas dari vaksin asal perusahaan China Siovac Ltd tersebut.
“Kalimat pertamanya kesehatan itu hak asasi manusia. Kalau hak itu artinya sesuatu yang harusnya diberikan kepada kita, bukan kita diwajibkan. Nah kewajiban dalam HAM itu akan muncul ketika kita menghormati haknya orang lain. Jadi disitulah kita dibatasi, bukan kita diwajibkan itu nggak,” ujar Haris Azhar dikutip Jurnal Presisi pada Sabtu, 16 Januari 2021.
Dalam konteks ini, menurut Haris langsung ke poin perdebatan yang ada terkait bisa di sanksi pidana.
“Menurut saya begini, kalau misalnya dengan tidak divaksin, saya misalnya tidak divaksin, lalu saya menjadi instrument perluasan wabah yang kemudian memburuk di Pasal 93 Undang Undang Kekarantinaan Kesehatan itu limitative, artinya saya bisa dipidana jika mengakibatkan sejumlah hal. Nah kalau saya tidak mau divaksin, maka negara lewat aparaturnya harus menjelaskan ‘kalau kamu tidak mau divaksin kamu perginya ke sini, badan kamu melekat ini, didekat kamu ada apa’ harus dijelaskan,” papar Haris.
Menurut Haris, jika menggunakan pendekatan masyarakat antara pro dan anti-pemerintah dapat divisualkan lewat hal demikian, maka menurutnya negara harus membuktikan kepada masyarakat.
“Kalau saya tidak mau divaksin kenapa, saya merasa sebenernya bahwa yang penting dari negara hari ini proporsional aja menjelaskannya kepada masyarakat ‘vaksin kita ini baru dua kali uji klinis’,” imbuhnya
Haris menyinggung penjelasan dari dokter Tirta dan Ia meyakininya yang mana menyebut bahwa vaksin ini bukan satu-satunya dan hanya menjadi pelengkap dari berbagai hal yang diamanatkan lewat Undang Undang Kekarantinaan Kesehatan.
“Jadi PSBB, pengetatan, tutup Bandara dan lain-lain terus berkampanye 3M, 3T, itu semua jadi kelengkapan yang seharusnya saling mengisi. Nah vaksin itu diinformasikan, bukan dikampanyekan ‘ayo vaksin’ saya agak bingung juga ngelihat banyak orang rame-rame ‘ayo vaksin’ tadi pagi juga. Ini kok saya lihat kayak sunatan massal,” singgung Haris.
Haris juga mempertanyakan pemerintah yang tiba-tiba memesan beberapa juta vaksin, seharusnya menurut Haris memesan 2 juta terlebih dahulu dengan disampaikan kepada target grup yang sesuai target uji klinisnya terlebih dahulu.
“Misalnya uji klinisnya hanya pada anak muda, pada olahragawan. Ada list-list tertentu bahwa ada sejumlah kategori manusia yang belum masuk dalam target uji klinis, berbasis ilmu kedokteran itu sendiri,” ujarnya.
Atas pernyataan Haris Azhar ini kemudian, Arya Sinulingga turut menanggapi yang mana mengatakan bahwa Sinovac sudah melnyelesaikan uji klinistahap III.
“BPOM juga sudah mengeluarkan bahwa ini aman, efikasinya juga diberi tahu juga. Kita harus tahu bahwa jumlah manusia dibandingkan dengan jumlah vaksin yang ada ini jomplang,” terangnya.
“Jadi ini adalah perebutan terhadap akses vaksin. Makanya PBB berfikir juga untuk negara miskin, jangan sampai negara miskin itu tidak mendapatkan vaksin,” tambahnya.
Pemerintah Indonesia, menurut Arya berupaya untuk mengamankan persediaan vaksin tersebut dari negara lain di dunia, jangan sampai terlambat atau bahkan kekurangan vaksin yang dibutuhkan untuk rakyat.
“Karena apa, kalau kita kekurangan, kan vaksin bukan tiba-tiba langsung ada, itu ada proses produksinya. 15 juta vaksin yang baru ke Indonesia itu bukan siap proses untuk divaksin, tapi diproduksi lagi, diproduksi bio farma sampai pakai botol itu saja butuh satu bulan untuk didistribusikan. Jadi, itu butuh proses, nggak sesimpel proses produksinya langsung jadi vaksin, tapi ada proses,” tukasnya. [Democrazy/pkry]