Maaher mengungkap cerita soal asal muasal dirinya mendapat nama tersebut. Dia diwawancarai di Bareskrim Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Sabtu (5/12/2020) petang.
"Jadi gini, di dalam kultur orang-orang sunah, orang-orang pesantren ada istilah 'kunyah' atau 'laqab'," kata Maaher.
Meski bernama asli Soni, Maaher mengatakan laqab-nya atau julukannya adalah Maaher. Dia mengaku mendapatkan nama tersebut dari guru agamanya saat mendalami Al-Qur'an.
"Saya itu nama islaminya, nama laqab-nya Maaher. Karena waktu saya setorkan hafalan Qur'an saya ke guru saya pakai nada Syeikh Maher Al Muaiqly, imam Masjidil Haram salah satunya Syeikh Maher Al Muaiqly. Saya setorkan hafalan saya itu pakai gayanya Syeikh Maher. Kata guru saya, 'anta Maaher At Thuwailibi'. Jadi sejak itu," jelasnya sambil menyebut peristiwa itu terjadi sekitar 4 tahun lalu.
Maaher tidak menyebut secara spesifik siapa guru yang memberinya nama tersebut. Dia memastikan hal nama yang dipakainya saat ini bukan karena kerap berganti nama.
"Jadi bukan karena namanya gonta-ganti. Saya kadang sedih juga lihat netizen saya diserang secara personal," tuturnya.
Sejak saat itu, lanjut Maaher, dirinya menggunakan nama tersebut. Namun dia juga tidak menolak masalah jika ada yang memanggil dirinya dengan nama Soni Eranata.
"Soni Eranata itu pemberian orang tua. Saya dipanggil Soni, Mas Soni, Pak Soni, Ustadz Soni, nggak apa-apa. Memang itu nama saya. Cuma karena kebetulan nama pena saya Maaher, ya orang tahunya itu," jelasnya.
Dalam wawancara, Maaher juga bicara soal atau ceramahnya yang kontroversial. Banyak pihak yang mengkritik Maaher karena ucapannya dinilai sangat jauh dari cerminan seorang ustaz.
"Kalau terkait dengan kata-kata kasar, saya sulit sih ya. Saya menjawabnya sulit. Agak sulit. Kenapa, karena kultural. Kulturalnya gini, terkadang kasar atau tidak kasarnya sebuah ungkapan di dalam berbahasa itu sangat asumtif. Asumtifnya kenapa, karena tergantung siapa yang mendengar," kata Maher.
Maaher menerangkan dirinya tumbuh besar di Kota Medan, Sumatera Utara. Dia baru tinggal menetap di Kota Bogor, Jawa Barat, kurang-lebih sekitar 6 tahun lalu. Karena itu, dia mengklaim sulit mengubah gaya bicaranya.
"Sulit. Sulitlah. Sulit karena saya kan sudah gede, sudah balig istilahnya. Kecuali saya dari SD, dalam masa pertumbuhan di Jawa pasti ada berubahlah dari logat, dialektika, tapi kalau sudah besar, sudah dewasa sulit berubah cara bahasa," jelas bapak dua anak ini.
"Untuk kultur Jawa, khususnya Jawa Barat Sunda, Jawa Tengah, termasuk teman-teman kita di NU di Pekalongan, bahasa-bahasa seperti yang saya ungkapkan, sering dilihat oleh netizen itu terbilang kasar memang, karena kulturnya demikian. Orang Jawa Sunda itu kan santun," sambung Maaher.
Saat berbincang langsung dengan Maaher, sosoknya memang jauh berbeda. Tutur katanya lembut, berbeda jauh dari aksinya di medsos yang kerap berapi-api saat berbicara dan kerap melontarkan kata kasar. Dia menyatakan, dalam keseharian memang itulah sosoknya apa adanya.
"Masa saya akting, memangnya drama. Kalau kenal saya di warung, ngobrol itu seperti ini saya. Itu bahasa itu ya medsos," jelasnya.
Soal gaya bahasanya di medsos yang kontroversial, Maaher menyatakan itu adalah bagian dari upayanya berdakwah.
Dia mengakui bahasanya kasar jika ada yang menghina Islam.
Namun dalam keseharian dia mengaku lembut, bahkan berkawan dengan orang-orang yang mendukung Jokowi atau Ahok, dua sosok yang kerap dikritisi oleh sosok alumni aksi 212 dan 412 ini. [Democrazy/dtk]