Hendardi memulai bicara dengan upaya Polri menegakkan hukum atas dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang mengiringi kepulangan dan rangkaian kegiatan Rizieq Shihab, November lalu.
Menurut Hendardi, upaya Polri itu kini memasuki babak baru yang terus menyedot perhatian publik.
Hendradi menilai, ada keengganan Rizieq menghadiri panggilan Polri dan menghalang-halangi anggota Polri menjalankan tugasnya (obstruction of justice).
“MRS (Rizieq Shihab) juga menyebarkan kecemasan baru potensi penyebaran Covid-19 dengan keluar dari Rumah Sakit UMMI dengan kondisi yang belum jelas, apakah positif atau negatif Covid-19,” ucap Hendardi, dalam keterangan yang diterima redaksi, Senin (7/12).
Hendardi kemudian bicara mengenai adanya penembakan terhadap 6 FPI oleh anggota Polri pada Senin (7/12) dini hari.
Dia menyebut, penembakan ini menjadi kontroversi baru. “Dari pihak Polri, memaparkan alasan objektif adanya ancaman jiwa anggota Polisi,” ucapnya.
Di sisi lain, lanjut Hendardi, penggunaan senjata api oleh Polri dalam mengatasi peristiwa tertentu, tetap harus mengacu pada prosedur-prosedur yang ketat dan harus dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
“Tertembaknya 6 orang warga sipil tentu menjadi keprihatinan dan tidak seharusnya terjadi. Tetapi, jika betul senjata-senjata yang ditunjukkan Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya adalah senjata milik anggota FPI, pembelaan Polri atas jiwa anggotanya yang terancam bisa diterima,” ucapnya.
Namun demikian, untuk memenuhi standar yang diterapkan dalam Perkap 8/2009 tersebut, Polri harus melakukan evaluasi pemakaian senjata api oleh anggotanya.
Kapolri dapat memerintahkan Divisi Pengamanan Profesi dan Pengamanan (Propam) untuk melakukan evaluasi atas fakta-fakta yang menjadi alasan pembenar penggunaan senjata api.
Pada saat yang bersamaan, lanjut Hendardi, SETARA Institute mendorong agar Rizieq kooperatif memenuhi panggilan Polri dalam pemeriksaan dugaan pelanggaran protokol kesehatan.
Termasuk kasus-kasus lain yang mangkrak dan melibatkan dirinya sebelum menetap di Arab Saudi.
SETARA Institute juga mengingatkan, jika benar senjata api yang ditunjukkan Polri adalah milik anggota FPI, mereka bukanlah syuhada.
“Mereka telah memiliki senjata api secara ilegal dan ditujukan untuk menghalang-halangi penegakan hukum. Oleh karenanya, tindakan mereka merupakan kejahatan,” ucapnya.
Paralel dengan upaya evaluasi Polri, SETARA Institute mendorong Polri terus melakukan tindakan hukum yang tegas, terukur, dan akuntabel menangani berbagai tindak pidana.
“Episode pasca kepulangan MRS adalah ujian bagi Polri untuk menegakkan hukum,” tutupnya. [Democrazy/rmco]