“Kasus ini by design untuk memancing FPI melakukan perlawanan secara fisik,” kata peneliti di Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya.
Kata Harits, ketika melakukan perlawanan terhadap polisi bisa menjadi alasan untuk membubarkan FPI.
“Dengan begitu aparat punya legitimasi utk memberangus atas nama UU,” papar Harits. Harits mengatakan, peritiswa penembakan enam laskar FPI tidak bisa dilepaskan dari skenario skenario komplit yang dirumuskan untuk menyikapi kasus HRS.
“Dan ada kompleksitas kepentingan. Semua perlu dielaborasi lebih dalam, agar kebenaran bisa didapatkan,” jelas Harits.
Ia juga mengkritik cara aparat kepolisian dalam membunuh enam laskar FPI.
“6 orang tewas ini terkesan sekali ada tindakan over eksesif (berlebihan) dari aparat di lapangan. Tindakan tegas dan terukur itu idealnya melumpuhkan bukan mematikan. Dan klaim kepolisian perlu pembuktian balik di lapangan dengan beragam metode,” ungkap Harits.
Kasus penembakan enam laskar FPI, kata Harits perlu dibuka dan dipertanggung jawabkan dihadapan pengadilan.
“Di sana dibuka dengan transparan. Apakah tindakan aparat masuk katagori dibenarkan secara hukum. Atau bahkan sudah abuse of power bahkan melanggar HAM,” jelas Harits.
Harits mengusulkan dibentuk tim independen pencari fakta untuk investigasi tragedi yang menewaskan 6 warga sipil oleh aparat di jalan tol.
“Istana begitu sigap membuat TPF atas kasus kematian seorang di Papua, bagaimana dgn 6 orang sipil yang tewas di jalan tol ini? Semua sama kedudukan d imata hukum, tidak boleh ada satu insitusi atau individu yang kebal hukum,” pungkasnya. [Democrazy/suaranas]