Hal ini dinilai tidak tepat dan bila dipaksakan, maka Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) juga bisa dipidana.
"Kalau setiap pelanggaran pidana tindak pidana itu dibebankan pada penyelenggara negara karena ada warga negara yang melanggar pidana maka sesungguhnya nanti bisa bisa presiden pun bisa kena tindak pidana," kata Refly sebagaimana dikutip dari akun Youtube-nya, Rabu (18/11).
Sebagaimana diketahui, buntut acara pernikahan anak pentolan FPI Habib Rizieq Shihab (HRS) yang ramai didatangi, Anies diancam dengan dugaan tindak pidana Pasal 93 UU Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan.
Untuk diketahui, Pasal 93 sendiri berbunyi 'Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)'.
Refly yang juga aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ini menilai, upaya pemidanaan tersebut aneh dan tak sesuai dengan bunyi pasal.
Pasal tersebut, jelas Refly mengandung sebab akibat, yakni 'menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat'. Padahal, untuk menetapkan Kedaruratan kesehatan masyarakat sendiri memiliki instrumen hukum tersendiri.
Mestinya, lanjut Refy, bila menyasar Anies, yang dapat digunakan adalah sanksi politik atau administratif, karena yang dilakukan adalah terkait bagaimana Anies menjalankan kewenangannya sebagai gubenrur.
Sanksi politik dapat dilakukan melalui DPRD DKI Jakarta yang dapat menggunakan hak-haknya dalam mencecar Anies.
Sedangkan, sanksi administratif bisa dilakukan oleh pemerintah pusat. Itupun, kata Refly, sifatnya tidak bisa pemberhentian, namun lebih pada sanksi administratif lain seperti mengurangi alokasi dana tertentu.
"Sedikit berlebihan rasanya kalau menyasar gubernur dki Jakarta Anies Baswedan dengan pidana. Jadi ini soal yang terkait dengan amanat , dengan bagaimana Anies Baswedan menjalankan pemerintahan di DKI Jakarrta," kata Refly.
Bila logika yang dipakai polisi tersebut dipakai, maka Jokowi pun dinilai bisa dipidana. Refly mencontohkan soal bagaimana Jokowi bisa dipidana karena dianggap melemahkan KPK melalui UU terbarunya.
"Kan bisa diinterpretasikan sebagai menghalangi pemberantasan tindak pidana korupsi misalnya, atau menyalahgunakan kewenangan misalnya. Kan tidak bisa begitu perspektifnya," kata dia.
Refly pun lebih setuju bila terhadap Anies diterapkan aturan administratif sebagaimana dimungkinkan peraturan perundang-undangan oleh pemerintah pusat atau nasional.
Ia berharap, jangan sampai pemerintah dan kepala daerah yang dipilih secara demokratis bisa dijauhkan oleh mekanisme-mekanisme yang justru di luar demokrasi iitu sendiri.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva juga angkat bicara soal permasalahan tersebut. ia menyebut polisi salah pasal jika pelanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dikenai atau diancam pasal 93 UU Kekarantinaan, sebagaimana diunggah di akun Twitter @hamdanzoelva pada Rabu (18/11).
Hamdan menyebut bahwa PSBB berbeda dengan karantina. Adapun yang dapat dikenai pidana menurut Pasal 93 UU Kekarantinaan hanyalah pelanggaran atas karantina.
Seperti diketahui, wilayah DKI Jakarta berstatus PSBB transisi hingga 22 November 2020. Hamdan menyebut tindak pidana atas pelanggaran PSBB, tidak diatur dalam UU kekarantinaan. Pelanggaran tersebut hanya diatur dalam Pergub.
“Di Indonesia tidak ada ketetapan karantina kecuali penetapan PSBB. Salah pasal kalau pelanggaran PSBB diancam Pasal 93 UU kekarantinaan,” cuit Hamdan Zoelva.
Namun, pada Rabu (18/11), Hamdan mengoreksi cuitannya dengan menyebut PSBB masuk dalam kekarantinaan kesehatan.
Polisi, pada Selasa (17/11), telah memintai klarifikasi Anies Baswedan terkait kerumunan massa di acara akad nikah putri dari HRS beberapa waktu lalu.
Meski diundang hanya sebatas dimintai klarifikasi, Polri menyebutkan penyidik bisa menetapkan Anies sebagai tersangka terkait tindak pidana pelanggaran protokol kesehatan.
Menurut Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono, tim penyidik cukup membutuhkan dua alat bukti yang kuat untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Tidak terkecuali dengan Anies yang sudah diperiksa oleh Polda Metro Jaya.
"Kalau sudah sampai ada alat bukti yang cukup, siapapun yang terlibat dalam hal peristiwa pidana harus dipertanggungjawabkan di depan hukum," tegas Awi dalam konferensi persnya di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (18/11).
Namun, Awi juga menegaskan, tim penyidik tidak bisa sekonyong-konyong menetapkan seseorang jadi tersangka.
Namun harus menjalani beberapa tahapan, mulai ditetapkan sebagai saksi lebih dulu. Juga harus diawali dengan tahap penyelidikan untuk kemudian naik ke penyidikan dan penetapan tersangka. Namun hal itu, kata Awi, tergantung penyidik, karena memang wewenangnya.
"Kita kumpulkan bukti-bukti permulaan yang cukup, tentunya kalau sudah sampai di sana nanti kita gelar. Kalau memang cukup bukti permulaannya kita tingkatkan ke penyidikan," terang Awi.
Anies dimintai keterangan periksa selama sembilan jam di Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa (17/11) kemarin. Tidak banyak kata-kata yang diucapkan Anies setelah selesai menjalani pemeriksaan.
"Alhamdulillah saya tadi telah selesai memenuhi undangan untuk memberikan klarifikasi dan prosesnya berjalan dengan baik. Kemudian ada 33 pertanyaan yang disampaikan menjadi sebuah laporan sepanjang 23 halaman," terang Anies. [Democrazy/rep]