Kapitra menilai potensi besar yang dimiliki Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu bisa menjadi potensi kekuatan bangsa, kalau pemerintah mampu mengelolanya dengan baik.
Awalnya, Kapitra menyinggung soal kenegarawanan Presiden Jokowi yang berhasil melakukan rekonsiliasi dengan lawan politiknya di Pilpres 2019, yakni Prabowo Subianto.
Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu dirangkul oleh Jokowi dan diajak membantu di kabinet pemerintahannya sebagai menteri pertahanan.
Langkah itu menurutnya bisa dilanjutkan dengan Habib Rizieq Shihab dan pendukungnya.
“Rival politik Pak Jokowi sendiri bisa dirangkul menjadi bagian dari tim kabinet, yang dua kali dikalahkan Pak Jokowi, yaitu Pak Prabowo. Kenapa rekonsiliasinya tidak dilanjutkan? Dituntaskan, sehingga ada energi baru atas kekuatan bangsa ini dalam kebersamaan,” ucap Kapitra, Rabu (11/11).
Menurut pria kelahiran Padang, 20 Mei 1966 itu, yang dibutuhkan bangsa ini hanya kerukunan, guyub, agar musuh nyata seperti Covid-19 yang sekarang terjadi bisa segera diatasi secara bersama-sama.
Nah, dia meyakini Habib Rizieq bersama FPI bisa membantu pemerintah.
“Bagaimana semua kekuatan bangsa ini dikerahkan untuk mengatasi Covid ini. Dan Habib Rizieq sama FPI kan sudah terbiasa dalam membantu menanggulangi bencana. Saya pikir jadikan mereka garda terdepan untuk melawan Covid,” ucap Kapitra.
Kemudian, Kapitra juga berharap agar kepulangan Habib Rizieq kali ini ke Tanah Air bisa membawa perubahan yang baru dengan cara yang baru pula. Misalnya dalam hal menyampaikan ceramah atau khotbah.
“Mungkin selama ini cara ceramahnya, khotbahnya, itu menakutkan sebagian orang, lalu dengan orasinya juga membuat suasana tegang, politik menjadi tegang. Boleh juga dimulai dengan kesejukan-kesejukan, cara-cara kondusif sehingga orang bisa paham apa yang ingin disampaikan, pemerintah juga mengerti apa yang dituju dengan aspirasinya itu,” tutur Kapitra.
Mantan pengacara Habib Rizieq ini menekankan bahwa semua pihak harus berubah untuk Indonesia.
Memperbaiki diri masing-masing, sehingga semua pihak, baik mayoritas muslim maupun nonmuslim yang minoritas juga merasa nyaman hidup dalam kebersamaan berbangsa di negara ini.
Dengan begitu, katanya, friksi-friksi yang tajam antara pemerintah dengan masyarakat itu bisa diminimalisir.
Hal tersebut menurutnya bisa dilakukan asal semua pihak punya sense of belonging, punya rasa memiliki kebangsaan. Serta, semua harus mencoba memperbaiki diri.
“Dan, tentu, Pak Jokowi sebagai suatu realitas politik yang riil dan legitimate, itu harus diakui keberadaannya. Harus diakui. Jangan lagi dipermasalahkan, karena proses-proses pilpres itu sudah melalui tahapan-tahapan konstitusional yang telah diberikan legitimasi oleh konstitusi maupun undang-undang,” jelas Kapitra.
Selain itu, perlu juga dicermati di mana kekurangan-kekurangan pemerintahan Presiden Jokowi, di situlah masyarakat terlibat untuk membantu dan menyisip kekurangan tersebut. Tidak perlu berhadap-hadapan antara pemerintah dengan masyarakat.
“Saya pikir sebagai ulama, sudah, mulailah memberikan, mengubah pola untuk menunjukkan bahwa Islam itu sesuatu yang sejuk, yang rahmatan lil alamin. Itu kan terpatri dalam akhlak dan perilaku. Maka, kalau pulang dengan revolusi akhlak, mulai dicoba tausiah membawa masyarakat pada hal yang sejuk, yang persuasif, yang kondusif, sehingga orang dapat mencerna, sehingga orang juga dapat memahami serta mengikuti,” tuturnya.
Kapitra tidak memungkiri untuk mengomunikasikan itu semua diperlukan adanya pihak yang menjembatani pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Habib Rizieq. Terkait hal ini, dia menyatakan siap mempertemukan keduanya.
“Ya, saya siap menjembatani itu semua, asal hati-hati para pemimpin formal dan informal itu. Terbuka untuk sebuah kebaikan. Karena ini riil Covid ini meluluhlantakkan kehidupan masyarakat. Oleh Covid ini sudah 30 juta orang menganggur. Perekonomian kita masih minus, dan itu kan juga mengkhawatirkan kita semua,” jelasnya.
Maka dari itu, kata Kapitra, harus ada upaya berdamai dengan hati. Dia juga mendorong pemerintah menginisiasi adanya rekonsiliasi atau silaturahmi nasional dengan Habib Rizieq.
“Kalau pemerintah tidak mau memakai kata rekonsiliasi, ya silaturami nasional lah, untuk menuju ke kerukunan nasional, guyub nasional. Kita minta Habib Rizieq sebagai pelopor kerukunan nasional. Kalau enggak, kita ini terus-terus terbelah. Untuk itu, kata Kapitra, para pemimpin harus memperlihatkan kedewasaan menjadi pemimpin. Kenegarawanan itu harus ada. Hal itu menurutnya sudah dibuktikan oleh Presiden Jokowi dengan rivalnya Prabowo Subianto usai Pilpres lalu. Harus ada good will, itikad baik, lalu dituangkan dalam political will, dalam keinginan baik. Silaturahmi saja, sebagai hamba Allah kan itu perlu dan itu perintah dalam Alquran,” ucap Kapitra.
Menurutnya, melalui silaturahmi itu akan ada dialog guna mencari titik temu tentang apa yang bisa dilanjutkan dalam persamaan, bukan perbedaan.
“Bangsa ini hanya butuh kerukunan saja, dia akan menjadi besar kalau dia rukun. Ada sinergisitas antara pemimpin dengan yang dipimpin. Antara umara dengan ulama, antara umat, umara dan ulama. Silaturahmi nasional harus dilakukan,” tandas Kapitra. [Democrazy/fajar]