Beberapa kekeliruan dalam UU Ciptaker berjumlah 1.187 halaman itu di antaranya, pertama, pada Pasal 6 Bab III Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha Bagian Kesatu Umum UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
Pasal itu merujuk pada Pasal 5 ayat (1) huruf a. Sementara di Pasal 5 tak memiliki ayat sama sekali.
Kemudian, Pasal 151 Bab IX Kawasan Ekonomi Bagian Ketiga Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Paragraf 1 Umum halaman 729 UU Cipta Kerja.
Permasalahan pasal ini juga terkait rujukan pasal sebelumnya. Pasal 151 ayat (1) merujuk pasal 141 huruf b. Dilihat lebih seksama, Pasal 141 UU Ciptaker tak memiliki turunan huruf dan berbeda konteks dengan Pasal 151.
Kemudian kekeliruan ditemukan pada 175 Poin 6 berisi perubahan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Dalam pasal 175 Poin 6 itu disebut bahwa Pasal 53 ayat (5) UU Nomor 30 Tahun 2014 itu merujuk pada ayat (3), padahal seharusnya merujuk pada ayat (4).
Istana sendiri sudah mengakui kekeliruan dalam UU Ciptaker yang diteken Jokowi. Meskipun begitu, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menyatakan kekeliruan dari UU yang diberi nomor 11 Tahun 2020 tersebut bersifat teknis administratif saja, tak berpengaruh terhadap implementasi UU.
Lebih lanjut, Kemensetneg pun sudah menjatuhkan sanksi disiplin kepada pejabat terkait yang melakukan kesalahan dalam proses menyiapkan draf RUU sebelum diajukan kepada Presiden.
"Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja," kata Pratikno lewat pesan yang diterima, Selasa (3/11).
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf menjelaskan bahwa kesalahan tanda baca seperti titik dan koma dalam sebuah produk hukum saja sudah salah, lantaran tanda baca hingga kata penghubung dalam UU tak lain merupakan bahasa hukum.
Atas dasar itu ia mengkritik respons Istana yang menyebut kekeliruan hanya bersifat teknis administratif saja.
"Saya prihatin pejabat tinggi seperti beliau menganggap enteng titik, koma, pasal, ayat, itu dianggap administratif dan bisa berubah. Jangan dianggap enteng, ini negara hukum," ujar Asep.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai kesalahan teknis yang terjadi setelah ditandatangani presiden menjadi gambaran bahwa UU Ciptaker sudah cacat sejak dalam prosedur dan substansi.
Bivitri menyebut kekeliruan isi UU setelah disahkan dan ditandatangani presiden ini bisa menjadi preseden yang cacat ke depannya. Ia pun mengkritik pernyataan Pratikno yang menganggap enteng kesalahan dalam UU Ciptaker.
"Menurut saya yang paling ngaco adalah bahwa pemerintah mengerdilkan proses legislasi seakan orang lagi bikin makalah atau skripsi kalau ada kesalahan langsung saja direvisi" kata Bivitri.
Sementara Ahli Hukum Tata Negara Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Muhammad Fauzan berpendapat bahwa kesalahan penulisan ataupun redaksional tak dapat dibenarkan dalam perspektif teori perundang-undangan.
Ia menjelaskan bahwa prinsipnya sebuah produk hukum dibentuk untuk memberikan suatu kepastian hukum. Menurut dia, asas kepastian hukum itu tak terlihat dengan kesalahan pada proses pembentukannya.
"Kan tidak bisa seperti itu, ini kan menunjukkan ada mekanisme penyusunan yang memang kecermatannya kurang paling tidak menurut saya," kata Fauzan, Selasa (3/11).
Mantan Hakim Konstitusi, I Dewa Gede Palguna mengakui bahwa setiap bentuk kesalahan yang termuat dalam UU Ciptaker memang tak dapat diterima lantaran bertentangan dengan prinsip keseksamaan dan kehati-hatian dalam pembentukan hukum.
Menurut dia, kondisi ketidakhati-hatian tersebut sangat sulit diterima bagi negara yang menganut konsep 'Civil Law' atau hukum sipil seperti Indonesia, sehingga sangat bergantung pada penalaran hukum dalam suatu undang-undang.
Oleh sebab itu, kata dia, masih dimungkinkan apabila Mahkamah Konstitusi membatalkan aturan tersebut apabila memang dalam prosesnya bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
"Tak perlu menjadi hakim konstitusi untuk menilai dan mengatakan bahwa kelalaian semacam itu adalah keteledoran yang tidak dapat diterima secara politik maupun secara akademik," kata Palguna, Rabu (4/11).
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyebut UU Ciptaker sebagai aturan yang cacat formil karena memuat berbagai kesalahan fatal serta pembahasan dan pembuatan aturan yang ugal-ugalan.
"Banyak keanehan ya undang-undang yang ditandatangani, kesalahan-kesalahan fatal, ini bukti memang ugal-ugalan pembuatan undang-undangnya dan dipaksakan. Sudah cacat formil, harusnya gugur," kata Asfin, Selasa (3/11). [Democrazy/cnn]