HEALTH PERISTIWA

Misteri Kematian Orang Inggris Pertama yang Terjangkit Corona, Sempat Beberkan Kondisi di Wuhan

DEMOCRAZY.ID
Maret 12, 2024
0 Komentar
Beranda
HEALTH
PERISTIWA
Misteri Kematian Orang Inggris Pertama yang Terjangkit Corona, Sempat Beberkan Kondisi di Wuhan

Misteri Kematian Orang Inggris Pertama yang Terjangkit Corona, Sempat Beberkan Kondisi di Wuhan
DEMOCRAZY.ID - Connor Reed dikenal sebagai orang Inggris pertama yang terjangkit virus corona saat menetap di Wuhan, China. 

Ia pun memberikan wawasan awal tentang penyakit ini melalui buku harian yang diterbitkan Daily Mail. 


Setelah 24 hari berjuang, bahkan merasa hampir meninggal, pria ini mulai pulih. Namun, nyawanya melayang baru-baru ini dengan meninggalkan sejumlah tanda tanya.


Dilansir dari Daily Mail, keluarganya yang kini tinggal di Brisbane, Australia, pada 5 November 2020 berkumpul untuk menyaksikan pemakaman Connor. Akibat embargo perjalanan ke Wales, mereka hanya bisa menontonnya melalui tayangan langsung dari Krematorium Colwyn Bay.


Berasal dari Wales Utara, keluarga Connor pindah ke Hertfordshire, lalu beremigrasi ke Gold Coast, Australia, saat ia berusia 12 tahun. Namun, pemuda ini enggan mengikuti jejak ayahnya di bidang bangunan. Ia selalu bermimpi cepat kaya.


Setelah lulus sekolah, Connor sempat bekerja sebagai pedagang di toko listrik Brisbane. 


Namun, di awal usia 20an, ia kembali ke Inggris untuk tinggal bersama kerabatnya di Inggris. 


Tak disangka, tiba-tiba ia menelepon ayahnya dan mengatakan akan pindah ke China untuk belajar bahasa Mandarin.


Connor menghabiskan 3 tahun di Timur Jauh, singgah di Malaysia dan kota-kota China lainnya sebelum menetap di Wuhan. 


Di Wuhan, ia menyukai suasana jalanannya yang penuh warna dan kehangatan warga setempat. 


Mungkin nahasnya, tutor bahasa Inggris ini menikmati berbelanja di pasar makanan laut kota itu, dengan kelelawar dan hewan liar lainnya yang dikurung, tempat yang diduga pertama kali virus menyebar ke manusia.


Pada 25 November 2019, segalanya berubah. Dalam buku hariannya, ia menggambarkan 3 tahap berbeda dari penyakitnya.


Connor awalnya mengalami gejala seperti pilek yang kemudian mereda 5 hari kemudian dengan bantuan campuran madu dan wiski. 


Namun, ia kembali nyeri tulang dan demam. Virus ini kemudian menyerang hebat pada hari ke-12, mencengkeram paru-parunya dengan sangat parah, sampai-sampai ia takut akan mati lemas.


Sementara itu, anak kucing peliharaannya yang bernama Dusk tiba-tiba jatuh sakit dan mati.


Di rumah sakit setempat, dokter mendiagnosis pneumonia dan meresepkan antibiotik. Namun, Connor khawatir obat-obatan itu akan melemahkan sistem kekebalannya, jadi ia tidak meminumnya. Setelah 24 hari, ia merasa sehat kembali.


Saat berjuang melawan penyakitnya, kehidupan di Wuhan masih berjalan seperti biasa. Saat itu, belum ada istilah COVID-19, sedangkan virus corona masih sebatas spekulasi. 


Anehnya, 37 hari setelah Connor pertama kali jatuh sakit, otoritas Partai Komunis memerintahkan semua orang untuk di rumah saja. Fakta ini ia catat dalam buku hariannya.


Lima belas hari kemudian, ia secara resmi diberi tahu telah terinfeksi 'virus corona Wuhan'. Begitu ia menyampaikannya kepada teman-teman di Facebook, kabar menakutkan ini menyebar dengan cepat.


Pada awal Maret, 3 minggu sebelum Boris Johnson mengumumkan penguncian pertama Inggris, Connor memperingatkan jutaan warga Inggris melalui surat kabar dan wawancara TV tentang penderitaan yang menanti siapa pun yang terinfeksi. 


Namun, karena khawatir mengkritik negara tuan rumahnya, ia selalu menggambarkan penanganan pandemi di China secara positif. Ia dengan tulus yakin mereka cepat tanggap dan membenarkan penguncian yang ketat.


"Anda tidak 'membenci' China ketika Anda tinggal di sana. Saat itu, ia adalah 'duta' virus corona bagi warga Inggris," kata Rod Reed, ayah Connor.


Pekerjaan medianya membantunya mengisi waktu luang selama penguncian. 


Namun, akhirnya ia berhenti karena khawatir dengan pemikiran pemerintah China. Ayahnya menyebut ia sangat berhati-hati agar tidak 'menggeseknya' dengan cara yang salah.


Di pemakamannya, pihak keluarga menekankan kesulitan yang ia alami selama 16 pekan saat ia dikurung, sendirian, di apartemennya di Wuhan. Totalnya, Connor menghabiskan 20 pekan sendirian saat penguncian. 


Ini termasuk karantina di Australia untuk menghabiskan musim panas bersama keluarganya dan karantina 14 hari setelah kedatangannya di Inggris pada bulan September.


Usai menghabiskan banyak pekan dalam isolasi, perjalanan pulang dari China ke Australia menjadi maraton yang mahal dan melelahkan. 


Karena visanya kedaluwarsa, otoritas China menunda pemindahannya dari Hong Kong selama 3 hari. 


Beberapa maskapai menolak menerbangkannya dan beberapa lainnya berhasil ia pesan, tetapi dibatalkan tanpa pengembalian uang.


Akhirnya, sampai juga Connor di Brisbane dan menghabiskan waktu bersama ayahnya untuk merenovasi rumah. 


Tak lama kemudian, pemuda 26 tahun ini memutuskan untuk mendaftar kuliah di sejumlah universitas China, tetapi gagal. Karena itu, ketika mendapat penawaran dari Universitas Bangor, ia tak melewatkannya.


Tak disangka, ia ditemukan tewas secara misterius di asramanya di Universitas Bangor. Pada 25 Oktober 2020, teman serumah Connor menemukannya pingsan di lantai kamar tidurnya. Alasan kematian dininya sejauh ini masih belum diketahui.


Menurut polisi, tidak ada keadaan yang mencurigakan. Klaim ini lantas mengarah pada dugaan bunuh diri. Namun, tak ada catatan, botol obat, narkoba, alat, dan tak ada luka fisik luar.


"Saya bisa mengerti mengapa orang mungkin mengira bunuh diri. Namun, saya tak bisa melihatnya. Ia mengatakan orang-orang di asramanya baik dan mereka telah berteman. Ia bahagia," kata Rod.


Ia mengaku tak pernah mendengar putranya memakai narkoba dan polisi juga langsung menyelidikinya. 


Namun, mereka tak menemukannya. Polisi pun menduga Connor jatuh dari kursi di kamar tidurnya dan kepalanya terbentur lantai, tetapi pihak universitas membantahnya.


Ayahnya kini menduga apakah penyebabnya adalah penerbangan panjang yang mungkin diperburuk sejumlah komplikasi virus corona. 


Pasalnya, di bulan September, saat pindah dari Brisbane ke Bangor, ia terbang selama hampir 24 jam ke Manchester, kemudian menempuh jalan darat ke Wales Utara.


Teori ini tampaknya layak dipertimbangkan. Sebuah penelitian oleh ilmuwan Imperial College London yang diterbitkan pada bulan Agustus menemukan bahwa virus corona biasanya menyebabkan penggumpalan darah di paru-paru. 


Senada dengan itu, menurut Tim Spector, profesor epidemiologi genetik di King's College London, korban 'Covid lama', bisa saja mengalami efeknya sekarang dan meninggal karena penggumpalan darah, berbulan-bulan setelah sembuh.


Di sisi lain, Pemeriksa Jenazah Dewi Pritchard Jones yang menyelidiki kematian Connor mengatakan tengah menjajaki 'jalan lain' dan yakin hampir memastikan penyebab kematiannya.


"Gumpalan darah di organ utama rutin diperiksa di post-mortem. Dengan Covid, gumpalan itu selalu menempel di paru-paru. Saya sedang mencari cara lain, tetapi tak bisa memberi tahu karena belum terbukti. Kami rasa kami tahu apa yang terjadi, tetapi saya harus membuktikannya. Saya menunggu hasilnya keluar dari laboratorium dan semoga menjelaskan semuanya," terang Jones.


Meski sifat tes ini tak diungkapkan, diyakini Jones tengah menunggu laporan toksikologi. Jika benar demikian, sepertinya ini mengarah ke overdosis, meski mungkin tidak disengaja.


Apapun kebenarannya, Rod menegaskan bahwa putranya yang ceria akan dikenang sebagai orang yang bahagia. Ia juga bangga putranya membuka wawasan masyarakat di awal pandemi.


"Setiap kali kami merindukannya, kami hanya perlu memasukkan namanya ke Google dan ia akan hadir di sana. Connor akan selalu ada di internet. Ia punya tempat sendiri dalam sejarah," pungkasnya. [Democrazy/akurat]

Penulis blog