Menurutnya, tawaran rekonsiliasi itu harus direspon positif oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal itu didasarkn atas gesekan politik antara kedua belah pihak yang semakin menguat.
Terlebih lagi, HRS memiliki massa yang cukup banyak. Jadi, suka atau tidak, Jokowi harus menerima tawaran tersebut.
Demikian disampaikan sosen Universitas Esa Unggul itu saat dihubungi PojokSatu.id di Jakarta, Kamis (12/11/2020).
“Suka atau tidak suka, pemerintah harus menerima tawaran rekonsiliasi HRS. Massa pendukungnya cukup besar, gesekan kepentingan Jokowi, PA 212 dan HRS semakin menguat,” ujarnya.
Ia mengatakan, gesekan kepentingan tersebut terlihat saat demo besar-besaran kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok beberapa tahun lalu.
Meskipun Jokowi tidak terlibat dalam kasus tersebut, namun, kubu HRS menilai orang nomor satu di Indonesia itu mendukung Ahok.
“Gesekan tersebut makin menguat sejak kasus penistaan agama dilakukan Ahok. Jokowi tidak terlibat dalam kasus ini, tapi pihak HRS dan kawan-kawannya menilai Jokowi berpihak kepada Ahok,” ungkapnya.
Hal itu lantas menimbulkan persepsi bahwa pemerintah anti Islam.
“HRS dan PA 212 juga menilai Jokowi tidak berpihak kepada Islam. Hal ini membuat gesekan politik pada kedua pihak makin menguat,” sambung Ritonga.
Oleh karena itu, kata pengajar Isu dan Krisis Manajemen itu, rekonsiliasi segera mungkin harus dilakukan.
Hal tersebut juga untuk meredam tensi politik kedua pihak, ditambah lagi permasalahan bangsa yang semakin kompleks.
“Rekonsiliasi dapat dilaksanakan segera mungkin mengingat masalah bangsa terus bertambah dan kompleks,” tuturnya.
“Semua ini perlu kesatuan semua anak bangsa untuk bersama-sama mengatasinya,” pungkasnya.
Sebelumnya, Habib Rizieq bersedia melakukan rekonsiliasi dengan Pemerintahan Jokowi.
HRS meminta pemerintah menyetop kriminalisasi ulama dan membebaskan beberapa tahanan.
“Ada teriak-teriak rekonsiliasi, mana mungkin rekonsiliasi bisa digelar kalau pintu dialog tidak dibuka. Buka dulu pintu dialognya, baru rekonsiliasi. Tak ada rekonsiliasi tanpa dialog, dialog penting,” kata Habib Rizieq seperti disiarkan kanal You Tube FrontTV, Rabu (11/11).
Pemerintah, kata Rizieq, seharusnya senang jika dikritik, terlepas kritik itu diterima atau tidak.
Sebab, para pengkritik itu sejatinya menawarkan solusi yang semestinya bisa dipelajarai pemerintah.
“Kalau solusi baik, terima. Kalau tidak baik, sampaikan di mana tidak baiknya. Selesai. Tidak perlu ada kegaduhan di tingkat nasional,” ucapnya.
Rizieq mengaku telah menawarkan dialog kepada pemerintah sejak 2017 namun tak mendapat tanggapan hingga saat ini.
Setelah aksi 212 di tahun 2016 lalu, kemudian digelar lagi aksi serupa pada Januari 2017, Habib Rizieq sudah menawarkan rekonsiliasi jika pemerintah mau duduk dengan habaib dan ulama.
“Kami siap 24 jam. Kapan, di mana, silakan,” kata Habib Rizieq.
“Tapi apa jawaban yang diterima? Bukan pintu dialog yang dibuka, bukan rekonsilisasi yang didapatkan. Tapi yang kita dapatkan kriminalisasi ulama,” kecamnya.
Ia pun menyatakan bersedia berdialog asal Pemerintahan Jokowi menghentikan kriminalisasi ulama.
Setelah itu, menurut Habib Rizieq, dia akan memulai proses rekonsiliasi.
“Kita siap berdialog, kapan saja, tapi setop dulu kriminalisasi ulama, setop dulu kriminalisasi aktivis, tunjukkan niat baik.”
“Kalau mau dialog rekonsilisasi, ahlan wa sahlan,” ucap Rizieq. [Democrazy/pjst]