Pesta demokrasi di negeri Paman Sam tersebut kini tengah memasuki proses penghitungan suara.
Publik pun menanti kandidat mana, antara Donald Trump dan Joe Biden, yang akan dinobatkan sebagai presiden terpilih AS.
Sebab, pilpres AS diyakini dapat berdampak terhadap negara lain, termasuk Indonesia.
Peneliti Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Zulfikar Rakhmat mengatakan, peluang kerja sama internasional yang menguntungkan kedua belah pihak, baik AS maupun negara lain, akan terbuka jika Joe Biden memenangi kontes demokrasi tersebut.
Menurut dia, Indonesia dapat memanfaatkan hal tersebut untuk mencari mitra dagang baru agar tidak cenderung bergantung dengan Tiongkok.
Ia menilai, ketergantungan Indonesia terhadap Tiongkok dalam perdagangan internasional akan menimbulkan dampak negatif.
"Risiko dependensi pada Tiongkok tentu akan memiliki banyak risiko, pertama dari ekonomi, kalau ekonomi Tiongkok bergetar sedikit kita akan langsung terdampak. Kemudian penandatanganan penggunaan Yuan di perdagangan dan investasi, ini akan berdampak, karena mata uang itu sering didevaluasi oleh pemerintah Tiongkok," ujar Zulfikar dalam diskusi LP3ES bertajuk Evaluasi Politik Luar Negeri & Perubahan Ekonomi Global yang diselenggarakan secara virtual, belum lama ini.
Ia menilai, ketergantungan itu juga berpotensi mengkerdilkan kedudukan Indonesia terhadap Negeri Tirai Bambu tersebut.
Meski Indonesia cukup aktif dalam kancah internasional beberapa tahun ini, Zulfikar menganggap, hal itu tidak akan efektif jika kondisi ekonomi dan politik Indonesia masih bergantung dengan Tiongkok.
"Dampak lainnya adalah ketika kita terlalu bergantung pada Tiongkok, kita tidak punya kedudukan yang kuat terhadap Tiongkok, meski berapa tahun ke belakang kita cukup aktif di dunia internasional, namun saya melihat ini tidak akan efektif selama Indonesia selalu bergantung pada Tiongkok soal ekonomi dan politik,” tutur Zulfikar.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Dwi Ardhanariswari Sundrijo juga memiliki pandangan serupa.
Menurutnya, Donald Trump dan Joe Biden memiliki visi politik luar negeri yang berbeda. Atas hal itu, ia meyakini hasil pilpres AS akan berpengaruh terhadap kondisi geopolitik dan perekonomian Indonesia.
Menurut dia, Biden cenderung memiliki gagasan hubungan multilateral yang berdampak baik pada negara-negara di dunia.
Berbanding terbalik dengan visi Trump yang tetap akan bersikap protektif dan membatasi kerja sama AS dengan negara lain.
“Orientasi dua orang tersebut berbeda, satu probilateral, dan yang satu realis. Biden lebih membuka peluang terkait kerja sama,” ujar
Lebih lanjut dikatakan dia, selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kondisi geopolitik Indonesia telah mengalami perubahan dari semula pragmatis, menuju keterbukaan diplomasi.
Kondisi tersebut, kata dia, dapat membuka peluang Indonesia untuk memiliki peran penting sebagai negara terbesar di ASEAN.
Sementara, Associate LP3ES Gerardi Yudhistira memandang, pilpres kali justru dimanfaatkan AS untuk merebut ruang publik yang selama ini mengacu kepada Tiongkok.
Salah satu contohnya, ketika Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengunjungi Indonesia beberapa waktu lalu.
Gerardi menyatakan, perebutan ruang publik antarkedua negara akan tetap semakin kencang berembus terlepas dari kandidat mana yang terpilih.
Baik Trump maupun Biden, ia menilai, perebutan ruang publik akan tetap terjadi.
"Perebutan ruang publik akan semakin kencang. Ke depan, perebutan ruang publik tentang kedua negara ini akan semakin kencang baik dari Biden maupun Trump," ucapnya.
Ia pun menilai, Indonesia akan tetap berkutat pada persoalan utama apabila nantinya AS akan lebih terbuka terhadap kerja sama multilateral.
Salah satunya menyangkut kebijakan politik luar negeri yang cenderung lemah.
Menurutnya, Jokowi merupakan tipe pemimpin yang pragmatis jika ditilik berdasarkan penguatan bisnis dan proyek infrastruktur.
Hal ini, kata dia, akhirnya membuat Jokowi lebih banyak dipengaruhi oleh pembuat kebijakan luar negeri.
"Ini menurut saya sisi pragmatis yang menjadi titik lemah, bagaimana Jokowi dipengaruhi oleh orang-orang di sekelilingnya," tandas Geraldi.
Terpisah, Duta Besar Indonesia untuk AS, Muhammad Lutfi justru menilai kesepakatan dagang dan investasi antara Indonesia dan AS tidak akan berpengaruh signifikan siapapun kandidat yang terpilih nantinya.
Pasalnya, ia beranggapan kedua negara memiliki kesamaan norma dan nilai-nilsi yang dianut dalam aktivitas dagang dan bernegara.
"Jadi nilai-nilai dan norma itu adalah kita ini dua bangsa yang mempunyai demokrasi secara terbuka, dua bangsa yang menjunjung tinggi hukum, dua bangsa yang memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk mengemukakan pendapat, dan bebas untuk memilih," kata Lutfi dalam telekonferensi, Selasa (3/11).
Bahkan yang terbaru, menurutnya, AS telah memperpanjang fasilitas Generalized System of Preference (GSP) atau pembebasan tarif bea masuk untuk Indonesia pada 30 Oktober 2020 lalu usai rangkaian negosiasi selama 2,5 tahun sejak Maret 2018.
Ia berkeyakinan, perpanjangan ini disepakati lantaran Indonesia dan AS memiliki kedekatan yang baik.
"GSP kita yang sudah makan waktu 2,5 tahun kok di saat-saat terakhir ini berhasil pecah, tembus, dan kita mendapatkan closure daripada review ini menjadi nilai-nilai. Tetapi saya yakin ini adalah karena kita mempunyai kedekatan-kedekatan yang baik," kata Lutfi. [Democrazy/mrpt]