POLITIK

Ini Fakta-faktanya, Tak Heran Jika Pemilu Amerika Kali Ini Disebut Pemilu Paling Memecah Belah, Simak!

DEMOCRAZY.ID
November 05, 2020
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Ini Fakta-faktanya, Tak Heran Jika Pemilu Amerika Kali Ini Disebut Pemilu Paling Memecah Belah, Simak!

Ini Fakta-faktanya, Tak Heran Jika Pemilu Amerika Kali Ini Disebut Pemilu Paling Memecah Belah, Simak!
DEMOCRAZY.ID - Petahana Presiden Donald Trump masih berpotensi kembali membuat kejutan seperti pada Pemilu 2016 yang indikasinya terlihat ketika dia memenangi beberapa negara bagian suara mengambang penting yang menurut berbagai jajak pendapat pra-hari Pemilu 3 November justru bakal disapu oleh calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden.

Namun dengan tinggal 6 suara elektoral lagi yang mesti diraih Biden untuk memenangi pemilu kali ini, sepertinya Trump akan terpaksa menerima kenyataan bahwa dia bisa menjadi presiden pertama sejak George H.W. Bush yang gagal memperoleh masa jabatan keduanya di Gedung Putih.


Perhitungan sejumlah media Amerika Serikat seperti Associated Press dan USA Today menunjukkan Joe Biden sudah mengumpulkan 264 suara elektoral atau mendekati syarat 270 suara elektoral untuk bisa dinyatakan memenangi pemilu AS.


270 suara elektoral adalah separuh plus satu dari total 538 suara elektoral yang ada pada pemilu kali ini.


Pemilu AS ditentukan oleh sebuah konsep lembaga bernama Electoral College yang pada pemilu kali ini beranggotakan 538 elektor atau suara elektoral. Jumlah ini sama dengan total anggota Kongres.


Kongres sendiri terdiri atas dua kamar; majelis tinggi Senat yang beranggotakan 100 senator dan majelis rendah atau House of Representatives (DPR) yang saat ini beranggotakan 438 orang. Jumlah anggota DPR bisa berubah mengikuti perkembangan demografi penduduk, tetapi jumlah anggota Senat tetap 100.


Tidak seperti umumnya negara demokrasi seperti Indonesia, proses pemilihan presiden AS diadakan tidak langsung karena meskipun kertas suara berisi nama-nama calon presiden, pemilih sebenarnya mencoblos elektor tiap negara bagian di mana pemilih berada.


Setiap negara bagian mendapatkan jatah suara elektoral berbeda-beda sesuai dengan jumlah penduduk negara bagian. Komposisinya bisa berubah mengikuti perkembangan demografis di masing-masing negara bagian.


Dalam kerangka Electoral College itu, pemilu AS memiliki aturan “winner takes all” yang artinya calon presiden yang memenangkan suara mayoritas di sebuah negara bagian adalah kandidat yang memenangkan semua jatah suara elektoral di negara bagian itu. Tapi ketentuan ini tidak berlaku di dua dari 50 negara bagian yang ada di AS, yakni Maine dan Nebraska.


Misal, jika Trump memenangkan 52 persen suara di Texas sedangkan Biden mendapatkan 48 persen suara pemilih di negara bagian itu, maka seluruh jatah 38 suara elektoral Texas diberikan kepada Trump.


Pada Pemilu 2016, Trump meraih 304 suara elektoral, sedangkan lawannya saat itu, Hillary Clinton, memperoleh 227 suara elektoral.


Berdasarkan proyeksi tabulasi suara dari Associated Press dan USA Today, Biden sudah mengumpulkan 264 suara elektoral dari 22 negara bagian termasuk negara bagian bersuara elektoral terbanyak California yang memiliki 54 suara elektoral, ditambah daerah khusus ibu kota District of Columbia.


Sampai tulisan ini disiarkan Biden tengah menggenggam keunggulan di Nevada yang memiliki jatah 6 suara elektoral. Jika terus mempertahankan keunggulan ini maka Biden dipastikan memenangi pemilu ini.


Biden juga menempel ketat Trump di Pennsylvania, North Carolina dan Georgia.


Trump sendiri untuk sementara memenangkan 23 negara bagian termasuk negara bagian berjatah suara elektoral besar Texas sebanyak 38 suara elektoral dan negara bagian suara mengambang dengan suara elektoral terbesar Florida (29 suara elektoral).


Trump juga dipastikan mendapatkan Alaska, selain tengah unggul tipis di Pennsylvania, North Carolina dan Georgia. Namun Trump harus hati-hati, apa yang terjadi pada Wisconsin dan Michigan di mana Biden tiba-tiba menyalip pada saat-saat terakhir (terutama karena masuknya surat suara lewat pos yang baru dihitung kemudian) bisa saja terjadi di tiga negara bagian suara mengambang medan pertarungan suara yang utama itu.


Kursi Senat dan DPR


Pemilu AS tidak cuma memilih presiden. Seperti halnya pemilu Indonesia sejak 2019, pemilu AS sejak lama diadakan serentak bersamaan dengan pemilu legislatif untuk memilih anggota dewan legislatif yang terbagi dua, yakni Senat dan DPR.


Khusus untuk Senat, pemilu yang bersamaan dengan pemilihan presiden tidak mempertaruhkan seluruh dari 100 kursi Senat.


Dan untuk pemilu kali ini hanya memperebutkan 35 dari total 100 kursi Senat yang ada. Ke-35 kursi Senat itu berasal dari 34 negara bagian di mana Georgia menjadi satu-satunya negara bagian yang memperebutkan dua kursi Senat, sedangkan lainnya mempertaruhkan masing-masing satu kursi Senat.


Sebaliknya untuk DPR, karena anggota lembaga negara ini dipilih kembali setiap dua tahun sekali, maka praktis memilih seluruh anggotanya yang saat ini berjumlah 438 kursi.


Senator atau anggota Senat memiliki masa jabatan enam tahun, sedangkan anggota DPR memiliki masa jabatan dua tahun.


Mengingat ada irisan dengan pemilihan presiden, maka AS mengenal istilah pemilu sela atau midterm election yang memilih kembali semua anggota DPR dan lebih dari separuh dari total senator di Senat pada dua tahun pertama periode empat tahun jabatan presiden.


Itu artinya pada 2022, 438 anggota DPR dan 65 senator akan kembali bertarung dalam pemilu sela.


Pada Pemilu 2020 ini Partai Demokrat tidak saja diperkirakan memenangkan kursi Gedung Putih, namun juga diprediksi mempertahankan suara mayoritas di majelis rendah legislatif DPR. Sebaliknya Republik diperkirakan akan terus menjadi kekuatan mayoritas di Senat.


Mengutip Associated Press, sampai tulisan ini disiarkan, Demokrat untuk sementara menguasai 46 kursi Senat, sedangkan Republik di ambang menjadi mayoritas dengan sementara ini memiliki 48 kursi Senat.


2 kursi lainnya dikuasai pihak lain yang selama ini bergabung dengan kaukus Demokrat sehingga USA Today menyimpulkan untuk sementara Demokrat dan Republik sama-sama menguasai 48 kursi Senat.


Ada empat kursi Senat tersisa yang sedang diperebutkan, masing-masing satu dari Alaska, satu dari North Carolina, dan dua dari Georgia.


Satu kursi Senat dari Alaska dipastikan bakal jatuh ke tangan Republik mengingat Alaska adalah salah satu basis Republik.


Demokrat berpeluang mengambil satu kursi Senat dari Georgia, sedangkan Republik diyakini besar kemungkinan bakal merebut dua kursi Senat lainnya di Georgia dan North Carolina.


Dibutuhkan 51 kursi Senat untuk menjadi mayoritas di Senat. Republik tinggal mendapatkan tiga kursi lagi agar bisa mempertahankan kendali di Senat, sebaliknya Demokrat sepertinya akan maksimal berada pada angka 49.


Di majelis rendah DPR, Demokrat juga diproyeksikan bisa mempertahankan posisi mayoritas yang sejak pasca-pemilu sela 2018.


Namun dari hitungan Associated Press dan USA Today angkanya bakal menurun dan sampai tulisan ini disiarkan Demokrat masih membutuhkan 14 suara lagi untuk menjadi mayoritas di DPR.


Jika semua skenario berjalan lancar, maka satu setengah cabang kekuasaan di Amerika Serikat (DPR dan Presiden) di ambang milik Partai Demokrat.


Sedangkan satu setengah cabang kekuasaan lainnya (Senat dan lembaga yudikatif) dikuasai Partai Republik setelah cabang kekuasaan kehakiman didominasi oleh hakim-hakim konservatif pilihan Trump dan Republik.


Ancaman krisis konstitusional


Lembaga yudikatif atau Mahkamah Agung beranggotakan sembilan hakim yang bermasa jabatan seumur hidup.


Biasanya komposisi mereka dirancang seimbang 4 hakim dan 5 hakim dari masing-masing spektrum hukum yang biasanya dibedakan dari hakim liberal dan hakim konservatif.


Hakim liberal biasanya dipromosikan oleh presiden yang berasal dari Partai Demokrat, sedangkan hakim konservatif diajukan oleh presiden dari Partai Republik.


Sekarang komposisi hakim agung di Mahkamah Agung AS berubah menjadi 6 hakim konservatif dan 3 hakim liberal. Komposisi sebelumnya adalah 5 hakim konservatif dan 4 hakim liberal.


Perubahan komposisi ini terjadi setelah Trump mengajukan hakim konservatif Amy Coney Barrett yang disetujui oleh Senat.


Barrett dimajukan Trump sebagai pengganti hakim liberal Ruth Bader Ginsburg yang meninggal dunia 18 September 2020.


Pencalonan Barrett itu diprotes oleh Demokrat karena secara etis, presiden tidak boleh menempuh langkah semacam itu menjelang pemilu.


Trump bergeming. Dia tetap mengajukan Barrett menjalani tes kelayakan di Senat yang untuk kemudian disetujui majelis tinggi legislatif yang dikuasai Republik itu sebagai hakim agung kesembilan.


Masuknya Barrett membuat media dan kalangan liberal khawatir Mahkamah Agung dan sistem peradilan AS bakal miring ke kanan atau cenderung konservatif karena segala putusan MA bakal dimenangkan oleh mayoritas enam hakim konservatif.


Fakta ini bisa membahayakan posisi Biden dan Demokrat baik saat menyusun legislasi di DPR maupun saat mengoperasikan jalannya pemerintahan, seandainya mereka memenangkan pemilu. Biden juga bakal terus dirongrong Senat yang diprediksi tetap dikendalikan Republik.


Biden dan Demokrat akan terus menghadapi pertarungan melawan lembaga yudikatif, terutama dalam mempertahankan dan mengajukan prakarsa dan implementasi kebijakan progresif dan liberal seperti perawatan kesehatan universal, hak aborsi, dan banyak lagi.


Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk mengangkat hakim-hakim di bawahnya dari tingkat negara bagian sampai distrik. Dan seandainya mayoritas hakim di semua tingkatan sistem peradilan AS didominasi hakim konservatif maka itu bisa berpotensi menjadi penghalang bagi program-program Demokrat baik dalam eksekutif maupun DPR.


Biden juga menghadapi prospek terjal untuk ditetapkan sebagai pemenang pemilu karena Trump mengancam akan menggugat hasil pemilu ke Mahkamah Agung yang notabene dikuasai hakim-hakim konservatif pilihan dia dan Republik, walaupun setiap gugatan hasil pemilu harus melewati dulu pengadilan di bawah MA.


Trump sudah meminta MA menghentikan penghitungan suara di negara bagian-negara bagian yang selisih suaranya tipis di mana Trump memimpin suara dan meminta penghitungan suara ulang di Michigan dan Wisconsin.


Fakta ini membuat sejumlah kalangan di luar AS mengkhawatirkan bakal terjadi krisis konstitusional dan “situasi yang sangat eksplosif” di Amerika Serikat seperti disebut Menteri Pertahanan Jerman Annegret Kramp-Karrenbauer.


Tak heran jika pemilu kali ini disebut pemilu paling memecah belah Amerika Serikat. [Democrazy/suara]

Penulis blog