"Saya menemukan ini memang ada suatu big scenario, ada skenario besar. Untuk apa, untuk red carpet bagi kelompok tertentu, bagi investor," kata Maria dalam pemaparan Anotasi Hukum UU Cipta Kerja, dikutip melalui video Kanal Pengetahuan UGM yang diunggah Senin (9/11/2020).
Maria menuturkan, skenario besar tersebut terlihat dari sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja, salah satunya ialah pembentukan badan bank tanah yang tertera pada Pasal 125 UU Cipta Kerja.
Menurut Maria, Bank Tanah ini dapat menjadi alasan untuk mengambil tanah masyarakat dan masyarakat hukum adat.
Sebab, UU Cipta Kerja tidak menjelaskan asal-usul ketersediaan tanah yang dijamin pengadaannya melalui Bank Tanah. UU Cipta Kerja hanya menyebut bank tanah dapat melakukan pengadaan.
"Nah pertanyaannya, itu tanahnya dari mana? Tanahnya itu pasti dari masyarakat dan masyarakat hukum adat," ujar Maria.
Tak hanya kehilangan tanah, Maria menyebut masyarakat berpotensi kehilangan lapangan pekerjaan dengan adanya Bank Tanah.
"Ini nanti menghilangkan lapangan kerja yang sudah ada, untuk menyediakan bagi investor membuka lapangan kerja untuk, kita tidak tahu, untuk pihak lain pasti, bukan dari pihak yang tanahnya sudah tergusur," kata Maria.
Maria juga mempertanyakan tujuan dari berdirinya Bank Tanah. Sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja, Bank Tanah didirikan untuk menjamin ketersediaan tanah untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, hingga reforma agraria.
Menurut Maria, hal ini menjadi persoalan karena paradigma Bank Tanah untuk pembangunan nasional tidak kompatibel dengan tujuan reforma agraria.
"Itu kan sangat tidak kompatibel karena Bank Tanah itu memang latar belakangnya adalah untuk mempermudah investor untuk memperoleh tanah. Lah kok tiba-tiba disandingkan dengan reforma agraria," ujar dia.
Selain soal Bank Tanah, Maria juga mempersoalkan ketentuan yang menyatakan orang asing berhak memiliki rumah susun atau apartemen.
Ketentuan tersebut tertera pada Pasal 144 ayat (1) UU Cipta Kerja yang mengatur, hak milik atas satuan rusun antara lain dapat diberikan kepada warga asing yang mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Maria, hal ini menabrak aturan yang ada di Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Rumah Susun.
"Anehnya lagi, untuk rumah tapak WNA tetap harus hak pakai, tapi untuk rumah susun, WNA boleh tanah bersamanya HGU. Jadi saya sendiri bertanya, ini kok konsistensinya sama sekali tidak ada," kata Maria.
Ortodok dan otoriter Maria mengungkapkan, ketentuan-ketentuan bermasalah itu sebetulnya terdapat pada Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang dinilainya bermasalah.
Ia mengaku heran mengapa ketentuan-ketentuan bermasalah itu dapat dimasukkan ke dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
"Jadi memindahkan masalah dari satu RUU untuk dimasukkan di dalam undang-undang yang saya juga heran bahkan bisa lolos ke dalam undang-undang ini," kata Maria.
Maria menambahkan, ketentuan dalam UU Cipta Kerja tersebut juga menabrak konstitusi. Salah satunya Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, kekayaan alam dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Sedangkan, Maria menilai, substansi pertanahan pada UU Cipta Kerja hanya menguntungkan kepentingan sekelompok kecil orang, bukan rakyat secara keseluruhan.
Dengan segala permasalahan itu, Maria menyebut Undang-Undag Cipta Kerja yang ortodok, elitis, dan otoriter.
Sebab, lewat UU Cipta Kerja dijadikan instrumen untuk melaksanakan kehendak penguasa.
"Ini bukan hukum yang mengayomi tetapi hukum yang memaksa. Kalau ditanyakan apakah hukum yang memaksa itu hukum atau bukan? Oh bukan, itu adalah kekuasaan, tetapi bukan hukum," kata Maria.
Maria mengaku anggapan bahwa UU Cipta Kerja sebagai undang-undang yang elitis itu meminjam dari disertasi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD.
Maria yang pernah menjadi pembimbing disertasi Mahfud itu bercerita, peraturan perundang-undangan dengan karakter seperti UU Cipta Kerja merupakan hukum yang otoriter.
"Ini saya cuma pinjam (istilah) Pak Mahfud, otoriter, bukan kata-kata saya ini, kata-kata bapak menteri yang dulu kebetulan saya menjadi pembimbing disertasinya, saya masih hapal ini," kata Maria. [Democrazy/kompas]