Menurut dia, proyek tersebut tidak disiapkan dengan baik dan terkesan tumpang tindih.
“Dari dulu kan tidak feasible karena tumpang tindih. Kan saya bilang angkutan umum harus terkoneksi dengan baik. Nah kalau di kota-kota di dunia, itu bentuknya melingkar dan silang, lalu di tengah-tengah ada feeder yang pendek-pendek, udah cukup. Ini ditumpuk-tumpuk karena urusan proyek,” kata Agus, Kamis 12 November 2020.
Kata dia, peran transportasi tersebut sebenarnya sudah ada di MRT Jakarta. Sementara transportasi yang dimanfaatkan sebagai feeder ada Transjakarta.
Dia menambahkan, adanya LRT Jakarta hanya mengejar proyek saja, tetapi tidak memikirkan pengelolaannya setelah jadi.
Pengerjaan LRT Jakarta juga terlambat dan akhirnya tetap digunakan sebagai pendukung Asian Games dari Kelapa Gading ke Velodrome.
Akibatnya menurut dia, tidak heran kalau saat ini LRT Jakarta jadi sepi penumpang. Mahalnya biaya pembuatan LRT belum sebanding dengan jumlah penumpang yang memanfaatkannya.
“Memang siapa yang mau naik? Nanti subsidi lagi Pemprov. Sementara kan ada TransJakarta di koridor-koridornya. Itu yang mau naik siapa jalur pendek itu dan ya sekarang bayar murah orang enggak naik wong jaraknya 5 kilo (km), siapa yang mau naik?” ujar Agus.
“Kecuali Jalan Pemuda sampai Harmoni motor dilarang lewat misalnya. Itupun bayarnya berapa? Subsidi lagi? Ngapain?” kata dia menambahkan.
Dia mengusulkan agar proyek LRT Jakarta sebaiknya tidak diteruskan. Dia tidak mempermasalahkan saat ada rencana Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menghapus rute Velodrome – Dukuh Atas.
“Kalau mau diteruskan duitnya dari mana? Kalau nanti sudah, itu tiketnya berapa dijual? mampu enggak masyarakat?” ujarnya.
Dia menilai, jika rute LRT Jakarta diteruskan, berarti memang hanya mengejar proyek. Anggapan tersebut juga berlaku apabila rute Velodrome – Dukuh Atas tidak dilanjutkan tetapi diganti rute lain seperti ke Klender atau tempat lainnya seperti Jakarta International Stadion.
Agus menuturkan kendala lainnya adalah masyarakat kalau dipaksa naik LRT Jakarta juga kebingungan terkait parkir. Sehingga ia menganggap proyek ini diubah saja jadi tempat wisata.
“Bagi saya udahlah itu jadi tempat wisata saja di Kelapa Gading, parkir di Velodrome naik itu. Karena sudah terlanjur,” jelasnya. [Democrazy/jstc]