Din menilai UU tersebut awalnya dirancang oleh Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono untuk memantau transaksi keuangan elektronik yang bertujuan memberantas korupsi. Namun kini UU ITE dipakai untuk menangkap aktivis.
"Bahwa UU ini dirancang sejak era pemerintahan SBY, dalam rangka memantau transaksi keuangan elektronik, dikaitkan dalam money laundering, korupsi dan sebagainya," kata Din dalam Webinar yang digelar KAMI secara daring, Kamis (12/11).
"Namun pada rezim Jokowi ini, menurut para pengamat dan pakar saya sangat tertarik menggarisbawahi, disalahgunakan pada penekanan pada medsos," tambahnya.
Din melihat berjalannya penerapan UU ITE saat ini telah salah kaprah. Sebab, penerapannya sudah melenceng dari tujuan awal saat dirancang untuk mengatasi kasus korupsi.
Aturan itu, lanjut Din, sudah membawa banyak korban yang dijadikan tersangka dan ditangkap oleh pihak kepolisian.
Pihak kepolisian kerap kali menjadikan UU itu sebagai dasar untuk menangkap seseorang,
"Salah satunya para aktivis KAMI yang sekarang masih ada dalam tahanan," kata dia.
Beberapa dugaan menghasut kericuhan selama demo menolak Omnibus Law UU Ciptaker beberapa waktu lalu.
Mereka dijerat dengan pasal beragam, mulai dari Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE) soal penyebaran berita hoaks, ujaran kebencian berdasarkan SARA, hingga pasal KUHP tentang penghasutan.
Lebih lanjut, Din menilai UU ITE merupakan ganjalan bagi pengembangan demokrasi di Indonesia.
Ia khawatir demokrasi Indonesia ke depan justru bisa memasuki masa krisis bila penyimpangan pelaksanaan UU itu terus diterapkan.
"Ini yang bisa bawa demokrasi Indonesia tak hanya masuk dalam masa krisis, defisit demokrasi, tapi juga [berpotensi] kebangkrutan demokrasi," kata Din. [Democrazy/cnn]