Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, Mulyanto menyebut secara umum kinerja pemerintahan Jokowi di bawah standar.
Kinerja yang ada sekarang jauh dari janji kampanye yang disampaikan kepada rakyat.
"Pemerintahan Jokowi di periode kedua ini ambyar. Hampir semua sektor kehidupan mengalami grafik penurunan. Yang naik hanya utang dan kasus penangkapan aktivis politik yang kritis terhadap pemerintah," ujar Mulyanto kepada redaksi Warta Ekonomi melalui keterangannya, Selasa (20/10/2020).
Secara sosial kemasyarakatan masyarakat Indonesia terbelah menjadi cebong-kadrun. Pemerintah yang seharusnya mendamaikan ternyata malah jadi sumber perpecahan.
Hal ini ditandai dengan adanya kelompok influencer (berpengaruh) di media sosial yang digerakkan sebagai buzzer dan didanai langsung oleh negara.
Tak tanggung-tanggung besaran dana untuk influencer dan buzzer ini lebih besar daripada anggaran riset vaksin.
"Pemerintah gagal membangun rasa kebersamaan masyarakat. Dengan segala sumber daya dan kewenangan yang dimiliki, pemerintah harusnya bisa mencegah keadaan ini agar jangan sampai meluas. Tapi sayangnya pemerintah terkesan lebih menikmati kondisi ini daripada menyelesaikannya. Sehingga masyarakat kita rentan dari perpecahan," ujar Mulyanto.
Secara politik, Mulyanto berpendapat, pemerintah merasa terganggu oposisi, baik di parlemen maupun di luar parlemen.
Pemerintah menganggap oposisi sebagai ancaman sehingga perlu ditiadakan dengan segala cara.
"Demokrasi itu mensyaratkan adanya oposisi sebagai penyeimbang kekuasaan. Dengan adanya oposisi, maka pemerintah akan dapat dikontrol dan diawasi kinerjanya," ujarnya.
Jika di parlemen hampir semua kekuatan partai politik dirangkul menjadi koalisi, pemerintah harusnya oposisi di luar parlemen diberi ruang yang cukup untuk menyampaikan pendapat dan kritiknya. Jangan didiskreditkan sebagai ancaman negara.
"Makanya wajar jika kelompok oposisi, yang semula lebih bersifat keumatan, yang disimbolkan dengan tokoh Habib Rizieq Shihab, semakin melebar dengan dideklarasikannya oposisi yang lebih bersifat kebangsaan dalam gerakan KAMI, dengan tokoh sentralnya Din Syamsuddin dan Jenderal Gatot Nurmantyo," ujar Mulyanto.
Dalam setahun pemerintahan Jokowi, Mulyanto juga menyoroti tumbuhnya politik dinasti. Anak-menantu Jokowi terjun dalam Pilkada.
Secara aturan mungkin pelibatan anak dan mantu dalam hajat Pilkada tidak dilarang, tapi secara etika dinilai kurang pantas.
"Pada periode ini kita merasakan betul adanya praktik oligarki kekuasaan, di mana ada kerja sama terlarang antara penguasa dan pengusaha dalam melahirkan kebijakan-kebijakan pihak tertentu. Hal ini dapat terlihat dari UU Cipta Kerja yang mendukung para pemodal mengeksploitasi sebesar-besarnya kekayaan negara. Tentu hal ini menjadi warna yang tidak elok dan menyimpan ketidakadilan dalam wajah perpolitikan di satu tahun pemerintahan Jokowi," imbuh Mulyanto. [Democrazy/wrte]