Bahkan saat ini, ekonom senior itu menyebut bahwa demokrasi di Indonesia saat ini sudah melenceng jauh dari maksa sesungguhnya.
Demikian disampaikam eks Menko Bidang Kemaritiman era Joko Widodo itu dalam kanal YouTube Karni Ilyas bertajuk Karni Ilyas Club – Rizal Ramli ‘Pak Jokowi Lebih Dengar Saya’, Jumat (23/10/2020).
“Setelah kejatuhan Soeharto hanya jadi demokrasi prosedural. Lama-lama jadi demokrasi kriminal,” ujar Rizal Ramli dikutip PojokSatu.id dari RMOL.
Pria yang biasa dipanggil RR itu mengatakan, demokrasi dianggap kriminal karena demokrasi sudah tidak bekerja untuk rakyat dan bangsa Indonesia.
“Tapi bekerja untuk bandar-bandar yang membiayai calon,” katanya.
Jadi, kata RR, sejatinya yang memilih para kandidat kepala daerah adalah para bandar yang dimaksudnya.
Bandar-bandar itu, sambungnya, kemudian membiayai seluruh keperluan untuk memenangkan kandidat yang dibiayainya.
Termasuk biaya untuk survei sampai seluruh kebutuhan pemenangan lainnya.
“Begitu yang bersangkutan terpilih, dia ngabdi sama bandarnya, bukan sama kepentingan nasional maupun rakyat biasa,” tuturnya.
Kondisi tersebutlah yang diakui RR lebih memilih mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
“Supaya threshold yang jadi sekrup pemerasan dari sistem demokrasi kriminal ini dihapuskan,” kata RR.
Ia pun merujuk perpolitikan dunia, yang mana sudah ada sekitar 48 negara yang tak lagi menganut sistem ambang batas.
Sedangkan di Indonesia, kata RR, masih menggunakan cara lama dan sudah ketinggalan.
“Kita nih norak dan ketinggalan,” katanya.
RR lalu menyebut bahwa untuk menjadi seorang bupati, maka seorang kandidat harus mengeluarkan biaya sampai Rp60 miliar.
Sedangkan untuk menjadi Gubernur di Pulau Jawa, dibutuhkan biaya minimal Rp300 miliar bahkan Rp1 triliun.
“Inilah yang merusak. Jadi presiden lebih gila lagi, biaya partainya aja bisa hampir berapa triliun itu,” pungkas RR. [Democrazy/fajar]