Diketahui saat itu PDI telah melaksanakan kongres sebanyak dua kali namun tidak berhasil menyelesaikan konflik yang ada diantara mereka.
Pada waktu itu Agum Gumelar menjabat sebagai Direktur A di Badan Intelijen ABRI (BIA) sekaligus merangkap sebagai Komandan Kopassus berpangkat Brigadir Jenderal.
Ketika ditawari tugas tersebut, Agum mendapat kepastian jika ABRI tidak mempermasalahkan seandainya Megawati memimpin PDI.
Secara de facto, Megawati telah terpilih dalam Kongres Luar Biasa yang digelar di Surabaya pada 2-6 Desember 1993.
Megawati mengungguli seniornya di PDI, Budi Hardjono (anggota caretaker yang mendapat dukungan besar pemerintah).
Namun para caretaker tiba-tiba saja menghilang tanpa menetapkan Megawati sebagai Ketua Umum PDI terpilih. Deadlock!
Meski sebelumnya sudah dijamin jika ABRI merasa tidak keberatan dengan penetapan Megawati, namun Agum Gumelar merasa harus melakukan konfirmasi terlebih dahulu dengan penguasa Orde Baru. Tentunya dengan tidak menanyakan secara langsung kepada Presiden Soeharto.
“Saat itu saya menghubungi putra beliau, mas Bambang Trihatmodjo. Kemudian sehari setelah itu dia memberi kabar bahwa Pak Harto tidak masalah jika Megawati memimpin PDI,” ujar Agum.
Kemudian Agum menghubungi Pangdam Jaya Mayjen TNI AM Hendripriyono untuk mendapatkan pengamanan pelaksanaan musawarah nasional di Kemang pada 22 Desember 1993.
Hendropriyono pun mendukung penuh dan mengirimkan perwira terbaik miliknya, Kolonel Zacky Anwar Makarim.
Selain itu, Agum juga menggelar pembicaraan dengan Megawati serta para elite PDIP yang saat itu terlibat konflik.
Dalam pembicaraan tersebut, dia sangat optimis jika Megawati akan memimpin PDI secara definitif karena 90 persen pendukung sudah pasti mendukungnya. Saat itu diketahui Megawati meraih dukungan 256 dari total 305 suara.
“Jadi pada waktu mengurus musyawarah nasional itulah saya mengenal Ibu Megawati,” ungkap Agum.
Sebab kesuksesan pada gelaran Munas itu pula, Agum dan Hendropriyono dianggap sebagai pendukung utama Megawati.
Namun, ada pihak yang cukup dominan di lingkungan ABRI yang ternyata tidak senang di kondisi tersebut. Selain tidak suka pada Megawati, orang yang dominan tersebut juga tidak menyukai Gus Dur dan Benny Moerdani.
“Saya kemudian dilaporkan ke Pangab Feisal Tanjung seolah-olah Pak Harto marah karena saya dianggap berperan besar terhadap pemilihan Megawati sebagai ketua umum,” ucap Agum.
Dan sayangnya lagi, Jenderal Feisal saat itu langsung percaya begitu saja pada laporan tersebut tanpa mengecek ulang ke Presiden Soeharto.
Akibatnya, selang dua minggu kemudian Agum Gumelar dicopot dari jabatannya sebagai Dan Kopassus dan Direktur A BIA.
Agum akhirnya dimutasi menjadi Kepala Staf Kodam Bukit Barisan di Medan.
“Jujur saya, saat itu saya sangat kecewa. Biasanya mantan Danjen Kopassus dipromosikan menjadi Pangdan atau Pangkostrad. Tapi saya malah turun menjadi Kasdam,” ujar Agum. [Democrazy/Irfan]