Sobel mengatakan, penderitaan orang Papua Barat di bawah pemerintahan Indonesia jarang diajarkan di lembaga akademis atau sekolah Inggris, lapor RNZ.
Dia mengatakan, gerakan Black Lives Matter di AS beresonansi dengan orang Papua Barat, yang mengooptasi di bawah slogan “Papuan Lives Matter”.
“Para aktivis menjelaskan rasisme institusional Indonesia terhadap orang Papua Barat,” ujarnya.
“Misalnya, pada Agustus 2019 mahasiswa Papua diserang di kota terbesar kedua di Indonesia (Surabaya) dan disebut monyet. Polisi kemudian menangkap siswa yang menembakkan gas air mata ke asrama mereka. Ini dan banyak insiden rasisme lainnya akan saya diskusikan dengan rekan-rekan di Kamar, dan mereka mencerminkan berapa banyak komunitas kulit hitam di Inggris yang diperlakukan di masa lalu.”
Namun juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia menggambarkan rasisme terhadap orang Papua Barat hanyalah oknum.
Sade Bimantara belum lama ini mengatakan, setidaknya salah satu pelaku pelecehan rasis dalam insiden Surabaya telah divonis dan dipenjara, lanjut RNZ.
Namun Sobel mengatakan kepada sesama anggota parlemen bahwa orang Papua yang tinggal, belajar, dan bekerja di wilayah Indonesia di luar Papua seringkali menghadapi diskriminasi.
“The Jakarta Post tahun lalu membahas orang Papua yang tinggal di Yogyakarta, dan mengatakan bahwa sering terjadi di mana pemilik sewa menyatakan persetujuan sewa melalui telepon, hanya untuk menolak mereka begitu mereka tahu dari mana mereka berasal.”
Bimantara menggarisbawahi, kasus-kasus seperti itu hanyalah oknum dan sama sekali tidak mencerminkan kebijakan pemerintah.
Menurutnya, pemerintah menerapkan kebijakan affirmative action yang sangat kokoh dan kuat di Papua dan nasional.
Sobel mengatakan, All-Party Parliamentary Group on West Papua akan terus meningkatkan dukungan parlemen Inggris dan tekanan untuk penentuan nasib sendiri Papua Barat, dinukil dari RNZ. [Democrazy/mtpl]