Tak lagi menakutkan
Dahulu semua orang yang merasa pernah korupsi akan cemas dan sulit tidur jika mendengar 3 huruf: KPK, karena berurusan dengan lembaga anti korupsi itu jelas akan berakhir nestapa, setidaknya nasib masuk bui sudah terbayang.
Namun sekarang tidak lagi, jika dahulu KPK tidak diatur untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan melalui SP3, maka KPK yang eksis setelah UU tahun 2019 bisa saja menerbitkan SP3 dalam artian seorang tersangka korupsi yang kasusnya ditangani KPK belum tentu akan berakhir di balik jeruji besi.
Selain itu status pegawai KPK yang dalam UU baru ditegaskan sebagai ASN tentu memberi sinyalemen bahwa retorika sehebat apapun tentang independensi KPK takkan menggugurkan fakta bahwa mereka berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Sejak UU KPK disahkan tahun lalu sudah banyak pihak memprediksi bahwa lembaga anti rasuah ini akan melempem, sebuah prediksi yang benar adanya, menurunnya jumlah OTT dan hanya menangani perkara-perkara kecil setidaknya bisa dijadikan indikator.
Pengadaan mobil
Marwah suatu institusi tak hanya dibentuk oleh kewenangan dan mandat yang diberikan oleh Undang-Undang, namun juga dibangun oleh integritas dan kredibilitas orang-orangnya, di masa awal berdirinya KPK mereka memiliki itu.
Terlepas tentu ada juga suara miring bahwa biaya operasional KPK sangat besar, orang-orangnya arogan dan sok suci hingga gaji fantastis yang diterima oleh pimpinan dan pegawai KPK jika dibandingkan pegawai institusi penegak hukum yang lain.
Namun suara miring dan cibiran itu tak menutup fakta tentang kiprah KPK yang menjelma sebagai institusi yang dicintai rakyat dan dibenci oleh koruptor, masyarakat tak peduli gaji besar orang-orang KPK karena dinilai sepadan dengan risiko pekerjaan dan yang lebih penting adalah: orang-orang ini menjalankan suatu institusi yang mempu menumbuhkan harapan bagi bangsa tentang pemerintahan yang bersih dari korupsi, penyakit akut yang selama ini diyakini menggerogoti segala sendi kehidupan bernegara.
Integritas dan citra menjadi penting bagi para petinggi KPK, bahkan hal ini jauh lebih penting melebihi aturan-aturan formal, karena berkaitan langsung dengan moral dan nilai yang akan membentuk persepsi akan di bawa kemana KPK oleh orang-orang yang ada di dalamnya.
Satu sikap dari pimpinan KPK generasi pertama yang berlanjut hingga tahun 2019 adalah menolak mobil dinas, ini bukan hal sepele, gestur seperti ini menimbulkan keyakinan publik bahwa pimpinan KPK berbeda, mereka bukan pejabat pada umumnya, mereka memiliki kepekaan sosial dan ekonomi, mereka merasa cukup dengan gaji ratusan juta yang berasal dari uang rakyat dan tak perlu lagi memaksimalkan celah kenikmatan walau itu tak dilarang oleh peraturan.
Namun sikap pimpinan KPK itu diterabas tahun ini, berbagai pemberitaan tentang pengadaan mobil dinas untuk pimpinan KPK hingga bernilai milliaran rupiah perunit menjadi viral sejak sepekan terakhir.
Persepsi publik tentu saja negatif, karena walau menjadi hak yang diatur dan diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan namun hal sepele itu telah menunjukkan bahwa pimpinan KPK hari ini biasa saja, sama seperti pejabat kebanyakan, yang menduduki jabatan untuk menikmati pula segala fasilitasnya termasuk mobil dinas.
Padahal belum lama pimpinan KPK pun mendapat sorotan terkait fasilitas helikopter yang dianggap sangat mewah dan juga wacana naik gaji yang sudah ratusan juta menjadi dua kali lipatnya.
Pembelaan dan argumen bisa disusun dan dikemukakan dengan baik, namun tentu saja akan ada argumen yang sama logisnya dari mereka yang berpendapat bahwa hari ini KPK adalah lembaga negara biasa yang diisi oleh orang-orang biasa. [Democrazy/pikiranrakyat]