POLITIK

Ironi Periode Kedua Rezim Jokowi: Permusuhan Kadrun & Cebong Semakin Kuat

DEMOCRAZY.ID
Oktober 21, 2020
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Ironi Periode Kedua Rezim Jokowi: Permusuhan Kadrun & Cebong Semakin Kuat

Ironi Periode Kedua Rezim Jokowi: Permusuhan Kadrun & Cebong Semakin Kuat
DEMOCRAZY.ID - Ketua Fraksi PKS di DPR, Mulyanto, menyebut secara umum kinerja pemerintahan Presiden Jokowi pada periode kedua di bawah standar. 

Kinerja yang ada sekarang jauh dari janji kampanye yang disampaikan kepada rakyat. 


"Pemerintahan Jokowi di periode kedua ini ambyar. Hampir semua sektor kehidupan mengalami grafik penurunan. Yang naik hanya utang dan kasus penangkapan aktivis politik yang kritis terhadap pemerintah," kata Mulyanto, Selasa (20/10/2020).


Mulyanto juga menyoroti fenomena masyarakat yang seakan terpecah menjadi dua bagian yang kerap disebut Cebong dan Kadrun. 


Dalam situasi ini, katanya, pemerintah bukan mendamaikan justru menjadi sumber perpecahan dengan adanya kelompok influencer di media sosial yang digerakkan sebagai buzzer dan didanai langsung oleh negara.


"Tak tanggung-tanggung, besaran dana untuk influencer dan buzzer ini lebih besar daripada anggaran riset vaksin," ujar Mulyanto.


Dalam bidang politik, Mulyanto berpendapat, pemerintah merasa terganggu oposisi, baik di parlemen maupun di luar parlemen. 


Pemerintah menganggap oposisi sebagai ancaman sehingga perlu ditiadakan dengan segala cara.


Padahal, demokrasi mensyaratkan oposisi sebagai penyeimbang kekuasaan sehingga Pemerintah akan dapat dikontrol dan diawasi kinerjanya. 


"Jika di parlemen hampir semua kekuatan partai politik dirangkul menjadi koalisi Pemerintah, harusnya oposisi di luar parlemen diberi ruang yang cukup untuk menyampaikan pendapat dan kritiknya. Jangan didiskreditkan sebagai ancaman negara," ujarnya.


Wajar, menurutnya, jika kelompok oposisi yang semula lebih bersifat keumatan, yang disimbolkan dengan tokoh Rizieq Shihab, makin melebar dengan deklarasi oposisi yang lebih bersifat kebangsaan dalam gerakan KAMI, dengan tokoh sentralnya Din Syamsuddin dan Gatot Nurmantyo.


Dalam setahun pemerintahan Jokowi, Mulyanto juga menyoroti tumbuhnya politik dinasti, yang diperlihatkan oleh anak-menantu Jokowi terjun dalam pilkada. 


Secara aturan mungkin pelibatan anak dan mantu dalam hajat pilkada tidak dilarang tapi secara etika kurang pantas.


"Pada periode ini kita merasakan betul adanya praktik oligarki kekuasaan, di mana ada kerja sama terlarang antara penguasa dan pengusaha dalam melahirkan kebijakan-kebijakan pihak tertentu. Hal ini dapat terlihat dari UU Cipta Kerja yang mendukung para pemodal mengeksploitasi sebesar-besarnya kekayaan negara. Tentu hal ini menjadi warna yang tidak elok dan menyimpan ketidakadilan dalam wajah perpolitikan di satu tahun pemerintahan Jokowi," ujar Mulyanto. [Democrazy/viva]

Penulis blog