"Jadi peristiwa kebakaran itu selalu diawali oleh api yang kecil. Di dalam proses, kalau dia berasal dari rokok, maka dia akan melalui proses yang disebut membara. Proses membara ini cirinya menghasilkan asap yang banyak sekali, berwarna putih," kata Yulianto kepada wartawan dalam konferensi pers di Bareskrim, Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (23/10/2020).
Dalam proses membara ini, lanjut Yulianto, dapat terjadi proses transisi menuju ke tahap flaming. Yulainto menggambarkan proses transisi dengan contoh sebuah rokok menyala.
"Mengalami transisi menuju ke arah flaming. Kalau membara, kita ada yang merokok misalnya, kalau kita masukan alat ukur temperatur, itu kurang lebih 600 derajat celcius. Begitu dia bertransisi menjadi flaming combation, bisa di atas 1.000 derajat celcius," jelas Yulianto.
"Nah di dalam peristiwa ini, terjadi proses transisi tersebut, sehingga di dalam gedung di lantai 6, bagian aula terjadi proses penyalaan, membesar dan mengalami proses yang disebutnya fire growth, tumhuh, api itu tumbuh mengikuti hukum T Kuadrat," sambung Yulianto.
Yulianto melanjutkan, saat api yang bertumbuh itu tak langsung dipadamkan, maka akan menjalar dengan sangat cepat. Temperatur api mulai dari 700 hingga 900 derajat celcius.
"Kita terlambat merespons, api cepat sekali sampai ke temperatur kurang lebih sekitar 700 sampai 800, bahkan sampai 900 derajat celcius. Kita bisa mengetahui temperaturnya berapa dari warga beton di ruang yang terbakar tersebut," jelas Yulianto.
Yulianto menerangkan temperatur yang panas menyebabkan kaca pecah. Saat kaca pecah, lidah api menyapu objek apapun yang dijangkaunya.
"Kami melakukan pembuktian langsung bahwa temperatur kaca pecah itu sekitar 120 derajat celcius. Ketika kaca pecah, maka api akan menjilat keluar karena api membutuhkan oksigen untuk terus tumbuh. Ketika kaca pecah, maka dia akan mengenai objek yang ada di sekitarnya mengikuti hukum perpindahan kalor, terjadi konduksi, konveksi atau radiasi," terang Yulianto.
"Ketika dia mengenai objek yang ada di depannya, objek yang mampu terbakar, maka terbakarlah objek tersebut. Di dalam kasus kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung ada material di bagian instalasinya, terdapat bahan yang mudah terbakar," sambung dia.
Yulianto lalu menyebut objek yang terbakar menciptakan tetesan api yang jatuh ke lantai bawah. Tetesan benda terbakar tersebut lalu mengakibatkan lantai bawah gedung juga terbakar.
"Ketika dia terbakar, terjadi tetesan ke bawah. Nah tetesan inilah yang menyebabkan di sekitar lantai bawah juga mengalami temperatur yang sangat tinggi. Ketika temperatur sangat tinggi, maka kacanya pecah, api akan menjilat ke dalam. Begitulah prosesnya kurang lebih terjadi," tutup Yulianto. [Democrazy/dtk]