Tercatat empat revisi UU telah disahkan sejak Jokowi dilantik pada 20 Oktober setahun silam, yakni UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), UU Mahkamah Konstitusi (MK), dan terbaru Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker).
Gelombang demo penolakan berbagai UU itu pun pecah di sejumlah daerah. Pada September 2019, demo besar-besaran dari kelompok mahasiswa dan masyarakat sipil mulai muncul usai pengesahan UU KPK.
Demo yang berujung ricuh itu berbuntut pada ratusan korban luka baik dari mahasiswa, masyarakat sipil, maupun aparat keamanan.
Gelombang demo serupa terjadi belakangan usai pengesahan UU Ciptaker. Demo digelar selama beberapa hari dari kalangan buruh dan mahasiswa di sejumlah daerah. Puncaknya, kericuhan terjadi dalam aksi demo 8 Oktober lalu.
Di Jakarta, fasilitas umum berupa halte bus Transjakarta dan pos polisi juga rusak akibat dibakar massa. Sikap Jokowi yang terkesan abai pun dikritik. Mantan wali kota Solo itu tak kunjung merespons berbagai penolakan publik terhadap UU kontroversial tersebut.
Ia justru melakukan kunjungan kerja ke Kalimantan Tengah untuk melongok proyek food estate atau lumbung pangan di tengah gejolak demo UU Cipta Kerja di depan istana.
Jokowi baru menyikapi UU Ciptaker sehari usai demo. Dalam pernyataannya, ia menyebut para penolak UU Ciptaker ini termakan hoaks dan disinformasi soal substansi UU tersebut.
Dalam menanggapi pengesahan UU KPK tahun lalu pun, Jokowi terbilang irit bicara. Jokowi saat itu menegaskan tak bakal menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mencabut UU KPK. Ia enggan berkomentar lebih jauh soal polemik yang muncul di masyarakat.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati tak memungkiri kepemimpinan Jokowi di periode kedua sangat berbeda dengan periode pertama sebagai presiden.
Wasisto menilai, di periode kedua Jokowi cenderung mengambil kebijakan non-populis.
"Periode kedua ini menunjukkan perilaku akrobatik presiden 180 derajat. Dulu periode pertama bersikap populis, sekarang lebih condong ke lingkaran oligarkis," kata Wasisto belum lama ini.
Sikap Jokowi yang cenderung abai terhadap berbagai pengesahan UU tersebut mencerminkan bahwa mantan gubernur DKI Jakarta itu lebih mementingkan kepentingan elite ketimbang publik secara luas.
Hal itu, kata dia, semakin menegaskan karakter Jokowi sebagai penguasa.
"Sekarang ini tidak ada moral untuk kembali sebagai pemimpin yang populis tapi cenderung menunjukkan karakter sebagai penguasa sesungguhnya. Lebih condong otoritatif dalam pemerintahan," ujarnya.
Wasisto yang kini menempuh pendidikan magister di Australia ini mengatakan, sikap Jokowi di periode kedua ini tak lebih dari membayar utang politik kepada para elit politik. "Sehingga dia mengambil sikap anti populis dari berbagai kebijakan itu," tutur dia.
Jebakan Periode Kedua
Sikap abai ini juga dinilai tak lepas dari jebakan periode kedua. Seorang pemimpin di periode kedua cenderung gagal lantaran tak bisa lepas dari buntut kritik kinerja di periode pertama.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengatakan, gelombang demo penolakan terhadap berbagai UU kontroversial itu menjadi puncak kekecewaan publik di tahun pertama periode kedua Jokowi.
"Jadi ada akumulasi penghakiman publik terhadap Jokowi. Sudah banyak kritik, di periode kedua ini kritiknya makin banyak, dan itu yang gagal disadari," ucap Zainal.
Sikap Jokowi yang tertutup dan minim partisipasi terhadap berbagai pembahasan UU menjadi pelengkap kekecewaan masyarakat di periode kedua.
Setumpuk kekecewaan itu yang diyakini Zainal semakin menggerus kepercayaan publik terhadap Jokowi.
Ia curiga Jokowi sengaja bersikap abai dan cenderung 'semaunya' lantaran tak bakal terpilih kembali. Sesuai aturan perundang-undangan, jabatan presiden hanya dapat berlaku satu kali dalam lima tahun dan dapat perpanjang dalam satu periode.
Sejak pemilihan presiden tahun lalu, Jokowi sendiri pernah mengungkapkan tak lagi punya beban memimpin Indonesia lima tahun ke depan. Ia mengaku siap mengambil kebijakan luar biasa di periode kedua pemerintahannya.
"Jangan-jangan itu alasannya. Tidak ada beban itu harusnya diterjemahkan 'gas pol' untuk masyarakat. Tapi ternyata ketika membentuk kabinet, membentuk kebijakan, itu yang ternyata dia maksud tanpa beban," ujarnya.
Langkah konstitusional melalui gugatan ke MK bisa menjadi opsi melawan berbagai regulasi tersebut. Namun Zainal ragu menyusul pengesahan UU MK yang juga serba dikebut untuk disahkan.
Sementara dari aspek sosial masyarakat, sangat memungkinkan dengan pembangkangan sipil tanpa kekerasan. Ia berpendapat, pembangkangan sipil memang harus dilakukan.
Alasannya, selama ini proses legislasi yang dilakukan DPR dan pemerintah telah melangkahi dan membelakangi kemauan publik.
"Ini bukan kali pertama, ini udah kuatrik dalam hitungan beberapa bulan. Mulai dari UU MK, UU KPK, UU Minerba. Saya lihat ini kebalik, yang dinginkan publik, misal UU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) dicuekin. Saatnya perlawanan sipil dilakukan, pembangkangan sipil menurut saya penting," kata dia.
Menurutnya, publik harus menunjukkan sikap ke pemerintah dan DPR. Apalagi, UUD mengenal kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD.
UU Kontroversial dan Sistem Kebut Pembahasan
Merunut berbagai UU kontroversial tersebut, pengesahan UU KPK menjadi polemik pertama di awal periode kedua Jokowi.
Pembahasannya telah dimulai jauh sebelum pelantikan periode kedua Jokowi. Rencana revisi UU itu pertama kali muncul di DPR pada 2015 yang memasukkan revisi UU KPK dalam prioritas Program Legislasi Nasional.
Namun berbagai penolakan dari masyarakat berbuntut penundaan usai Jokowi melakukan pertemuan dengan pimpinan DPR.
Kejadian ini berulang pada 2016. Pembahasan revisi UU KPK kembali ditunda usai kesepakatan Jokowi dengan DPR.
UU Nomor 19 Tahun 2019 itu akhirnya berhasil disahkan pada 17 September 2019, selang sebulan sebelum pelantikan periode kedua Jokowi. Prosesnya sangat cepat. Usai diketok di paripurna, draf UU tersebut langsung dikirimkan ke presiden di hari yang sama.
Pasal-pasal kontroversi yang disorot publik di antaranya soal pembentukan dewan pengawas, pengajuan izin penyadapan, hingga penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Desakan penerbitan Perppu untuk mencabut UU KPK pun mencuat. Namun Jokowi berkukuh tak bakal menerbitkan Perppu.
Pengesahan selanjutnya adalah UU Minerba yang juga mendapat penolakan dari kalangan masyarakat sipil. RUU Minerba yang menjadi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba itu disahkan pada 13 Mei 2020.
Sejumlah poin dalam beleid tersebut dinilai hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Beberapa ketentuan yang diubah di antaranya soal penghapusan sanksi bagi pihak yang mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan hingga penghapusan kewajiban untuk melaporkan hasil minerba dari kegiatan eksplorasi dan studi kelayakan.
Sistem kebut pengesahan juga terjadi pada revisi UU MK. Pembahasan UU hanya berjalan tiga hari mulai 25-28 Agustus.
Perubahan pasal dalam UU tersebut juga mengundang kritik publik. Sejumlah pasal dihapus, di antaranya soal masa jabatan hakim yang sebelumnya lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Sebagai gantinya, hakim dapat diberhentikan dengan hormat apabila berusia 70 tahun.
Revisi UU itu disahkan DPR pada awal September di tengah hujan kritik sejumlah kalangan. Koalisi masyarakat sipil menilai materi dalam UU baru itu sarat barter kepentingan antara DPR dan MK.
Teranyar, adalah pengesahan UU Ciptaker yang berujung gelombang demo di berbagai daerah. Kritik dan aksi protes bahkan telah digelar sejak tahun lalu untuk menggagalkan pembahasan RUU Ciptaker.
Namun pembahasan terus bergulir di DPR. Pengesahan justru dipercepat menjadi 5 Oktober dari jadwal semula pada 8 Oktober. Pandemi covid-19 menjadi alasan bagi DPR untuk mempercepat proses pengesahan.
Penerapan Omnibus Law sendiri telah disampaikan Jokowi sejak dilantik sebagai presiden di periode kedua. Ia selalu menyampaikan bahwa aturan sapu jagat itu bisa memudahkan investasi masuk sehingga tercipta lapangan kerja.
Presiden ke-7 RI itu bahkan memberi target 100 hari bagi DPR untuk menyelesaikan pembahasan. Selama hampir kurang lebih enam bulan DPR membahas draf RUU itu bersama pemerintah dan pakar.
Hingga akhirnya pemerintah dan DPR sepakat membawa RUU Ciptaker ke rapat paripurna dan disahkan menjadi UU.
Sejumlah poin dalam UU Ciptaker dianggap banyak merugikan kaum pekerja-buruh dari penghapusan aturan pesangon, menghilangkan batas Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), hingga mempermudah masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA).
Mulusnya proses pembahasan antara DPR dan pemerintah itu pun seolah menutup kritik dari berbagai pihak. Oposisi di parlemen justru tunduk terhadap berbagai pembahasan UU kontroversial tersebut.
Di periode kedua Jokowi tercatat ada tiga fraksi di luar pemerintah, yakni Demokrat, PKS, dan PAN. Namun penolakan hanya dilakukan Demokrat saat pembahasan RUU Minerba yang tetap disahkan sebagai UU.
Dalam pembahasan RUU Ciptaker, Demokrat juga termasuk yang vokal menentang. Saat sidang paripurna pengesahan bahkan partai berlambang bintang mercy itu sempat walkout. Namun penolakan Demokrat bersama PKS kala itu tak banyak mengubah pembahasan RUU Ciptaker. Ujungnya RUU itu tetap disahkan menjadi UU.
Di tengah deretan pengesahan RUU kontroversial itu, kritikan justru muncul dengan adanya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Organisasi yang dideklarasikan pada 18 Agustus itu menyampaikan sejumlah tuntutan pada Jokowi. Deklarator KAMI Gatot Nurmantyo juga sempat menyinggung bahwa negara saat ini telah dikuasai oligarki kekuasaan dan dipermainkan sekelompok orang.
Tak lama muncul Partai Ummat, bentukan Amien Rais. Mantan Ketua Umum PAN itu mengklaim bahwa Partai Ummat sengaja didirikan untuk melawan kezaliman yang menyasar masyarakat Indonesia.
Amien sendiri selama ini dikenal cukup lantang mengkritik Jokowi.
Terlepas dari berbagai kepentingan organisasi tersebut, pembentukan KAMI dan Partai Ummat dinilai menjadi bentuk ketidakpuasan terhadap berbagai kebijakan Jokowi.
"Ini distrust terhadap presiden meninggi dan bisa dilihat dalam langgam yang berbeda bagaimana mereka membentuk oposisi dengan gerakan-gerakan itu," ucap Zainal. [Democrazy/cnn]