Padahal sudah banyak masukan dari para institusi, pakar serta tokoh berpengalaman dari mulai Muhammadiyah, PBNU, DPD RI bahkan hingga Pak Jusuf Kalla.
Namun, entah karena alasan apa pihak penyelenggara Pilkada, KPU, DPR dan Kemendagri tetap menginginkan Pilkada 2020 segera dilaksanakan secara serentak pada tanggal 9 Desember mendatang.
Hal ini pun mengundang komentar pedas dari Direktur Eksekutif Voxpol Center Researcg and Consulting ketika dihubungi hubungi oleh awak media soal sikap ngeyelnya pemerintah kita.
“Memang kocak tingakh elite politik kita ini. Sudah tau virus corona semakin ganas dan merebak di berbagai daerah, malah mengatakan Pilkada makin susah kalau harus ditunda. Kan lucu,” ungkapnya.
Pengamat Politik kelahiran Sumatera Barat tersebut juga membandingkan contoh negara lain yakni Selandia Baru yang berani mengambil keputusan dewasa untuk menunda pelaksanaan Pilkada dan Pilpres demi memastikan keselamatan seluruh rakyatnya.
“Itu lah kenapa saya mengatakan sebuah lelucon politik, pejabat kita ini memang pelawak, entah mereka mikir rakyat atau enggak,” ujarnya.
Diketahui bahwa satu-satunya alasan yang selalu digunakan oleh pemerintah sebagai dalih mengapa Pilkada harus segera dilaksanakan di tengah situasi pandemi semakin ganas ini adalah kekhawatiran mereka dengan masa jabatan para kepala daerah yang akan berakhir pada Februari 2021.
Kalau di logika, apa salahnya jika memang di situasi sulit seperti ini para kepala daerah diperpanjang masa jabatannya demi kebaikan bersama.
Ataukah tetap ngotot mengganti kepala daerah dengan mengorbankan nyawa seluruh rakyat? Jika memang orientasinya bukan untuk rakyat tetapi untuk kepentingan individu atau kelompoknya, hal ini memanglah memalukan.
“Ini artinya akan ada sebanyak 240 pelaksana tugas kepala daerah, lalu jika memang demikian, apakah pelaksana tugas (plt) kepala daerah di masa krisis ini kurang tepat? Kan enggak juga,” ujarnya.
Menurut Pangi, alasan pemerintah ya hanya itu tadi, hanya karena masalah jabatan. Hal ini sesungguhnya bisa kita logika apa tujuan sebenarnya dari tetap ngototnya mereka memaksakan Pilkada 2020 tetap digelar.
“Kalau kita niat dan itikad baik, masih banyak pola-pola lainnya, akan selalu diberikan kemudahan jalan jika maksud kita adalah baik,” ucapnya.
Pangi juga mengingatkan jangan sampai karena masalah jabatan atau kekuasaan lantas menjadikan rakyat sebagai tumbal demokrasi dengan dalih menyelamatkan demokrasi.
Meski pemerintah juga meyakinkan akan mempraktikkan protokol kesehatan ketat di Pilkada nanti, nyatanya kemarin waktu pendaftaran sudah berapa yang melanggar? Berapa yang sudah terkena teguran? Lalu apa gunanya sanksi yang ada?
“Kemudian coba bagaimana nanti jika yang ditemukan melanggar protokol adalah anak presiden atau mantu presiden? Berani tidak aparat menindak dan memberikan sanksi? Lagi-lagu ujungnya adalah kompromi politik,” pungkas Pangi. [Democrazy/Krishna]